Hebatnya lagi, lompatan pertumbuhan itu dilakukan sambil mengurangi beban utang ssebesar US$4,15 miliar. Suatu prestas yang mustahil diraih para pejabat penghamba ekonomi neolib. Bukan itu saja, pertumbuhan ekonomi juga sangat berkualitas. Rasio indeks Gini terendah Indonesia sepanjang 50 tahun terakhir, yaitu sebesar 0,31.
Di tataran mikro, tokoh yang akrab disapa RR ini juga meninggalkan jejak cemerlang di Semen Gresik Group dan BNI saat didapuk menjadi Komisaris Utama. Semuanya sudah menjadi informasi publik, dengan mudah bisa ditelisik. Silakan berselancar di dunia maya, maka akan tersaji bermacam gebrakan terobosan, yang sering kali tidak terpikirkan oleh para pejabat publik dan atau mereka yang disebut ekonom.
Cukup Menko?
Kepiawaiannya di bidang ekonomi diakui kawan dan lawan yang bersebarangan mazhab ekonomi. Namun dalam konteks Pilpres, mereka seperti disatukan dengan pendapat yang mendegradasi peran.
"RR memang pilih tanding di bidang ekonomi. Untuk itu, cukup posisi Menko Ekuin baginya kalau memang ingin memperbaiki perekonomian Indonesia yang tengah terpuruk," begitu seolah-olah koor yang mereka dendangkan.
Lagi pula, untuk mengabdi kepada negeri kan tidak harus menjadi Presiden atau Wapres. Jabatan Menko sudah sangat prestisius dan cukup powerful. Toh nanti siapa pun Presiden/Wapresnya 'pasti' bakal menggaetnya sebagai Menko.
Tentang 'kepastian' Rizal Ramli menjadi Menko Perekonomian siapa pun yang menjadi Presiden/Wapres, ini argumen naif. Semua akan sangat tergantung apa motivasi orang-orang itu berkuasa. Kalau mau membangun negeri, bisa 'dipastikan" RR bakal dipinang sebagai Menko. Tapi kalau mereka hendak nyolong, maka bisa dipastikan juga dia ditoleh pun tidak. Lho, iya, kan?
Di atas semua itu, mereka sepertinya lupa atau memang sengaja lupa. Kewenangan seorang Menko Ekuin dengan masalah ekonomi segawat ini tentu sangat terbatas. Sehebat apa pun sang Menko, dia tetap harus berada di bawah komando Presiden. Sampai di sini masalah bisa terjadi. Ketika ada kekuatan besar (biasanya lobi para pengusaha, khususnya asing maupun asing) menekan Presiden (dan Wapres), maka titah selanjutnya kepada Menko bisa ditebak. Inilah yang dialami Rizal Ramli, dan juga Kwik Kian Gie saat keduanya menjadi Menko Ekuin.
Inilah yang menjelaskan mengapa RR berada di luar lapangan begitu Pemerintahan Gus Dur jatuh. Bahkan, kendati sempat masuk sebentar di era Jokowi, pria yang telah menjadi orang pergerakan sejak mahasiswa lebih 40 tahun lalu itu, pun akhirnya didepak ke luar.
Akhirnya, kita perlu mengingatkan para elit yang masih saja bertingkah menyebalkan di detik-detik akhir pendaftaran Capres/Cawapres. Sebetulnya kalian mau apa? Benar mau membangun negeri? Atau, polah kalian yang kian memuakkan ini sejatinya adalah cermin syahwat akan kuasa dan harta yang tak terkendali? [*]
Jakarta, 9 Agustus 2018