Megaskandal kedua yang membelit perempuan yang dipoles media mainstream sebagai 'Superwoman' itu adalah, kasus penjualan asset-aset Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Sebagai penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BDNI), manajamen bank milik Sjamsul Nursalim itu harus menyerahkan asetnya kepada Pemerintah.
Adalah  Rizal Ramli, Menko Ekuin sekaligus Ketua KKSK era Presiden Gus Dur yang mengungkap dugaan kuat terlibatnya Sri dalam penjualan asset-aset BDNI. Saat hadir sebagai saksi ahli pada sidang tindak pidana korupsi (Tipikior) dengan tersangka mantan Ketua Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Sjafruddin Temenggung  pekan silam di Jakarta, dia mengatakan aset BDNI yang diserahkan BPPN kepada Kementerian Keuangan pada 2005 senilai Rp4,5 triliun. Namun anehnya dua tahun kemudian selaku Menkeu Sri menjual aset tersebut hanya seharga Rp200 miliar. Akibatnya negara dirugikan Rp4 triliun lebih.
Syafruddin didakwa merugikan negara Rp4,5 triliun dalam penerbitan surat keterangan lunas (SKL) BLBI. Dia juga dituduh memperkaya pemilik saham pengendali BDNI Sjamsul Nursalim, melalui penerbitan SKL. SKL itu dikeluarkan Syafruddin berdasarkan Inpres 8/2002 yang dikeluarkan pada 30 Desember 2002 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Dia disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU 31/1999 sebagaimana diubah UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Di sisi lain, Rizal Ramli menegaskan, ketua BPPN tidak mungkin mengambil keputusan sangat penting tanpa sepengetahuan dan izin dari atasannya, dalam hal ini adalah Menkeu yang juga Ketua KKSK. Sebagai doktor ekonomi yang dianggap moncer, mustahil Sri tidak bisa menghitung dahsyatnya kerugian negara akibat obral asset secara gila-gilaan tersebut. Kerugian negara dalam skandal penjualan aset BDNI sangat besar, mencapai lebih dari Rp4 trilliun. Atau, mungkinkah pada kasus ini bukan cuma restu dari ketua KKSK? Untuk itu, lanjut pria yang akrab disapa RR itu, sudah seharusnya KPK mendalami keterlibatan Sri dalam megaskandal ini.
Namun seperti disebut di awal tulisan ini, Sri tampaknya memang sakti mandraguna. Hingga hari ini, KPK belum memanggil dia, minimal sebagai saksi, dalam kasus rasuah superjumbo ini.  Entah apa gerangan yang sebenarnya terjadi. Mungkinkah ada invisible hands yang cawe-cawe? Yang terjadi, justru aroma gerakan memoles, menteri penganut dan pejuang neolib yang banyak merugikan bangsa dan rakyat indonesia itu di media mainstream, sebagai cawapres pendamping Jokowi begitu menyengat.
Sampai kapan hukum menjadi barang mainan para elit di pusat-pusat lingkaran kekuasaan? Benarkah Sri sungguh-sungguh sakti mandraguna? Tapi satu hal yang pasti, pepatah Jawa mengatakan, Gusti Allah mboten sare!
Jakarta, 11 Juli 2018
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H