BIÂ Tak Bisa Sendirian Menjaga Rupiah. Begitu judul berita yang dimuat sejumlah media (on line), hari ini (23/5). Bagaimana kita memaknai berita ini? Apakah ini isyarat Bank Indonesia (BI) melempar handuk?
Rupiah dalam beberapa waktu terakhir memang terkulai, tidak berdaya menghadapi keperkasaan dolar Amerika. Kurs tengah BI hari ini menunjukkan angka Rp14.192/US$. Jika dihitung sejak awal tahun, rupiah tercatat melemah sekitar 4,5%.
Publik percaya, kalau pun rupiah tidak terjerembab ke angka Rp15.000/US$ bahkan Rp17.000/US$ itu semata-mata karena BI mati-matian berusaha menjaganya melalui intervensi pasar. Sayangnya sampai sekarang tidak jelas betul, berapa devisa yang telah digerojok ke pasar. Namun bisik-bisik di pasar menyebutkan angkanya sudah menembus US$8 miliar. Wow!
Menurut Gubernur BI Agus Martowardojo, upaya penguatan rupiah tidak bisa melulu mengandalkan intervensi BI. Pemerintah juga kudu harus ikut gotong-royong menopang agar rupiah tidak benar-benar terkapar.
Salah satu usaha yang bisa Pemerintah lakukan adalah dengan mereduksi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Agus yakin upaya ini dapat menjadi amunisi ampuh bagi penguatan rupiah. Pada titik ini, jelas Pemerintah punya peran amat vital.
Sekadar mengingatkan saja, BI tahun memperkirakan defisit transaksi berjalan bakal bertengger di 2,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Nominalnya di kisaran US$23 miliar, alias sekitar Rp326,4 triliun. Angka ini lebih tinggi kertimbang proyeksi sebelumnya yang berkisar 2,2%-2,3% terhadap PDB.
Kita memang tidak bisa menyimpulkan BI seperti hendak lempar handuk alias menyerah. Tentu saja, ini (nyaris) tidak mungkin terjadi. Tapi, paling tidak, pernyataan Agus itu menjelaskan bahwa BI sudah kerepotan, kalau tidak mau disebut sempoyongan. Itulah sebabnya BI minta Pemerintah ikut cawe-cawe dalam menopang rupiah.
Lampu kuning
Bicara soal defisit transaksi berjalan sebagai elemen penting vitamin penguat rupiah, sebenarnya bukanlah perkara baru. Lebih dari tiga tahun silam ekonom senior Rizal Ramli sudah memberi warning soal ini. Dalam satu kalimat pendeknya yang terkenal, Menko Ekuin dan Menkeu era Presiden Gus Dur ini menyebut, ekonomi Indonesia sudah lampu kuning!
Hari-hari ini peringatan serupa kembali dia kumandangkan. Mantan anggota panel ekonomi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) ini bukan sekadar mengkhawatirkan terus membumbungnya jumlah utang yang kini nyaris menyentuh Rp5.000 triliun. Tapi dia juga menyoroti sejumlah indikator makro ekonomi kita yang belepotan warna merah.
Sepanjang 2018, angka-angka itu memang bertabur defisit. Sampai April neraca perdagangan (trade balance) tercatat minus US$1,6 miliar. Begitu juga dengan neraca perdagangan jasa dan neraca perdagangan migas kuartal pertama, masing-masing defisit US$1,4 miliar dan USS2,4 miliar.
Bahkan defisit transaksi berjalan sudah berada di US$5,5 miliar. Berikutnya, neraca pendapatan primer dan neraca pembayaran (balance of payment) US7,9 miliar dan US$3,9 miliar.
"Lha wong semuanya defisit, kok Menkeu masih saja ngotot bilang mengelola APBN dengan prudent. Apanya yang prudent? Kalau benar-benar prudent, tentu angka-angkanya tidak defisit seperti itu. Sayangnya Presiden tidak tahu kalau para pembantunya memberi laporan ABS," tukas Rizal Ramli. ABS yang dia maksudkan adalah Asal Bapak Senang.
Sehubungan dengan itu, tokoh nasional yang dikenal gigih melawan penerapan mazhab ekonomi neolib ala Bank Dunia ini, mengeritik pemerintah yang doyan menyalahkan asing atas memburuknya perekonomian nasional. Para pajabt publik kita selalu menyebut faktor global, terutama Amerika, sebagai biang kerok terkulainya rupiah dan jebloknya kinerja ekspor nonmigas.
Benar-benar celaka
Di sisi lain, tentu saja, Rizal Ramli tidak menampik bahwa faktor global dan regional punya peran penting. Tapi, ibarat tubuh, jika kondisinya kuat dan sehat, walau duduk di ruangan bersama banyak orang yang kena flu, tentu kita tidak kena dampak. Ga ngefek, kata anak muda zaman now.
Sebaliknya, jika tidak sehat, kondisi fisik memang lemah, ada orang lewat dan bersin saja, langsung bisa tertular. Jadi, kalau Pemerintah, khususnya para pejabat yang bertanggungjawab di bidang ekonomi, bekerja dengan benar tentu stamina Indonesia akan sehat dan kuat. Hal itu ditandai dengan birunya angka-angka sejumlah indicator makro tadi.
Sayangnya, alih-alih bekerja cerdas dan bekerja keras, para menteri tersebut malah sibuk berkelit. Berbagai alasan dan dalih mereka sorongkan untuk menutupi kelemahan dan ketidakmampuan.
Mereka juga tidak segan menyodorkan data dan angka yang sering tidak relevan untuk membodohi publik. Koor yang teramat sering dinyanyikan, di antaranya menisbatkan menggunungnya utang dengan PDB. Padahal, para ekonom waras dan bernurani sudah lama mengritik rasio utang dengan PDB yang disebut sebagai sesat dan menyesatkan.
Tapi sudahlah, memang begitu karakter mazhab ekonomi neolib. Dan, celakanya para menteri ekonomi Kabinet Kerja dijejali para penganut sekaligus pejuang neolib yang gigih. Padahal, jauh-jauh hari Soekarno sudah memperingatkan bangsa ini, bahwa neolib adalah pintu gerbang neokolonialisme dan neoimperialisme. Lebih celaka lagi, Presiden Jokowi makin ke sini tampaknya makin nyaman dengan para menteri tersebut.
Celaka, benar-benar celaka! (*)
Jakarta, 23 Mei 2018
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H