Atas semua kebijakan ekonomi sarat nilai-nilai neolib itu, Jokowi terlihat anteng dan adem-ayem saja. Padahal, tanpa harus menjadi profesor atau doktor ekonomi, siapa saja seharusnya menyadari bahwa semua kebijakan itu sangat merugikan negara dan rakyat Indonesia. Rakyat yang paling menderita, karena merasakan langsung betapa pahitnya dampak berbagai kebijakan ekonomi yang diambil para menteri neolib tadi.
Presiden tak bersalah?
Namun di tengah makin babak-belurnya kondisi mayoritas rakyat Indonesia, masih ada saja suara-suara yang mencoba membela junjungannya. Mereka antara lain mengatakan, Presiden tidak salah. Yang salah ya menteri-menterinya. Menteri Perdagangan harusnya jualan atau dagang, bukan malah asyik impor-impor. Menteri Keuangan harusnya kejar pajak pengusaha sukses dan perusahaan-perusahaan besar, bukannya mengulik duit pensiunan atau UMKM.Â
Menko Perkenomian seharusnya mengkoordinasi menteri-menteri di bawahnya agar menerbitkan kebijakan yang sinkron dan saling menguatkan. Bukannya malah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi berjilid-jilid yang tidak jelas implementasi dan hasilnya.
Para pemuja Jokowi juga berkata, karena orientasi menteri-menteri ekonomi yang berkiblat pada paham neolib, akibatnya ekonomi stagnan di angka 5%. Padahal, kata mereka lagi, kalau cuma tumbuh 5%, tidak perlu mikir dan kerja. Cukup tidur seharian atau duduk ongkang-ongkang kaki ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5%. Jadi, Presiden tidak salah. Yang salah ya para menteri itulah.
Saya setuju, bahwa para menteri itu jelas salah. Mereka terlalu text book thinking. Mereka hanya mau berkiblat dan patuh pada mazhab neolib ala Bank Dunia dan IMF. Segala sesuatu yang berbeda dengan paham tersebut, pasti ditolak mentah-mentah. Yes, mereka memang bersalah!
Tapi, hal itu bukan berarti Jokowi jadi bebas dari kesalahan. Justru kesalahan utama ada pada Presiden. Pertama, sebagai Presiden kenapa dia memilih dan mempertahankan menteri-menteri neolib? Padahal, berbagai kebijakan yang mereka keluarkan jelas-jelas bertabrakan dengan Trisakti dan Nawacita yang dikampanyekan waktu Pilpres 2014.
Kedua, sebagai Presiden kenapa dia tetap dan terus saja menolak masukan dari para ekonom bermazhab konstitusi? Ok, mungkin sebagai orang Jawa Jokowi tidak mau atau tersinggung kalau diberi masukan dan saran disampaikan secara terbuka lewat media massa. Itulah sebabnya, barangkali, dia beriskap cuek dan abai terhadap segala masukan tadi.
Tapi, bukankah dia juga sering bertemu empat mata dan berdikusi dengan beberapa sahabatnya yang menganut paham ekonomi konstitusi? Rizal Ramli, misalnya, adalah salah satu sahabat yang kerap memberi masukan dan saran-saran saat ngobrol empat mata. Tapi, kenapa Jokowi hanya iya-iya saat diskusi, tapi kembali asyik dengan berbagai kebijakan neolib para menterinya setelah RR pergi?
Para menteri itu jelas salah. Tentu saja. Tapi Presiden (dan para pendukungnya) juga jangan coba-coba ngeles dengan menyalahkan para pembantunya. Walau bagaimana juga, Jokowi adalah Presiden. Sesuai mandat konstitusi, Presiden adalah pemimpin eksekutif tertinggi. Presiden yang pegang kendali. Bahkan, dengan kontitusi pula Presiden punya hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan para menterinya, siapa saja dan kapan saja! Kalau mau, dia bisa mencopot para menteri neolib dan mengembalikan garis kebijakan ekonominya sesuai dengan Trisakti dan Nawacita. Sayangnya, Â hal itu tidak pernah dia lakukan.
Jadi, menurut anda, apakah Jokowi neolib?