Untuk merayu agar Freeport tidak ngambek, Menkeu Sri Mulyani Indrawati pernah berencana menerbitkan aturan yang meringankan pajak petambang asal Amerika itu.
Jika dalam skema KK Freeport kena pajak penghasilan badan (PPh) 35 persen, dalam beleid yang rencananya berbentuk Peraturan Pemerintah (PP), pajak itu diturunkan menjadi 25 persen.Â
Apa yang dilakukan Sri jelas bertabrakan dengan konstitusi, khususnya pasal 23 A. Pasal tersebut berbunyi, "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang". Maksudnya, pajak bukan ditentukan dengan PP atau aturan lain yang secara hirarki di bawah UU. Keringanan perpajakan bagi Freeport juga melanggar UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Freeport rugikan RI Rp 185 triliun
Saat negosiasi berlangsung alot dan cenderung deadlock, Pemerintah justru sibuk mencari jalan keluar. Antara lain dengan mencoba membeli saham Rio Tinto yang ada di Freeport.
Belakangan, setelah publik mengetahui Rio Tinto tidak punya saham di RFreeport McMoran atau di FI, Pemerintah berkilah yang dibeli adalah participating interest di FI. Asal tahu saja, participating interest itu umurnya cuma sampai 2021.
Pada 1995, ada kontribusi dana operasional dari Rio Tinto. Untuk itu, Freeport membuat perjanjian dengan perusahaan asal Inggris itu berupa participating interest sebesar 40 persen yang akan berakhir pada 2021.
Namun sejak 1995, Rio Tinto hampir tidak pernah memperoleh bagian produksi Freeport Indonesia. Pasalnya, volume produksi tidak pernah mencapai level yang ditetapkan seperti disepakati.
Rio Tinto sendiri minta Indonesia membayar US$ 3,3 miliar atas participating interest milknya di FI. Pemerintah, melalui holding perusahaan tambang, PT Inalum (Persero) minta diskon 20 persen, atau menjadi US$ 2,65 miliar. Diskon diajukan dengan alasan, sebagai biaya membayar kerugian negara sebesar Rp 185 triliun akibat kerusakan ekosistim dan utang tunggakan pajak kepada Pemerintah Provinsi Papua.
Sampai di sini kembali terbukti, Pemerintah terlalu lembek jika berhadapan dengan perusahaan asing. Logikanya, kenapa pula harus mengeluarkan dana hingga US$ 2,65 miliar untuk hak yang akan berakhir pada 2021? Bukankah kalau dibiarkan saja, otomatis hak itu menjadi milik Indonesia seiring dengan berakhirnya KK Freeport pada 2021?
Hal lain yang dilakukan Pemerintah adalah, harga US$3,3 miliar yang kemudian ditawar jadi US$2,65 miliar itu ternyata berdasarkan hitungan operasi tambang Freeport sampai 2041.