Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

"Crumb Rubber" Dicabut dari DNI, Tak Cermat Jadi Kiamat

16 Maret 2018   14:48 Diperbarui: 16 Maret 2018   14:57 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sampai di sini niat Airlangga membuka industri crumb rubberbagi asing memang belum clear. Kalau semata-mata ingin menggenjot investasi, ada yang lebih pas. Yaitu industri karet di sisi hilir yang menghasilkan barang jadi. Jika ini dilakukan, maka daya serap industri hilir pasti bisa didongkrak jadi lebih baik daripada 630.000 ton saat ini.

Kecilnya daya serap industri hilir karet disebabkan jumlah perusahaan yang ada memang belum banyak. Ini disebabkan teknologi yang digunakan lebih canggih dibandingkan sekadar memroduksi karet remah. Selain itu, tentu aja, modal yang dibutuhkan juga lebih besar. Mereka antara lain memproduksi ban mobil, vulkanisir ban, sarung tangan, alas kaki, karpet, barang-barang karet, dan benang karet.

'Bagi tugas'

Kenapa Pemerintah tidak mengarahkan perhatian di sini? Dengan begitu ada semacam 'pembagian tugas' antara pelaku lokal dan investor asing. Buat remah karet yang teknologi dan modalnya tidak tinggi, biarlah diurus produsen lokal. Sedangkan untuk industri hilir karet yang teknologinya lebih canggih dan rakus kapital, jadi bagian investor asing.

Membuka industri crumb rubberyang saat ini sudah sesak dengan para pemain yang ada, hanya akan membuat kian terjun utilisasi kapastitas. Artinya, tingkat inefisiensi makin tinggi. Biaya produksi per unit cost bakal melonjak. Celakanya, kenaikan biaya tersebut tidak bisa serta-merta dikompensasi dengan menaikkan harga ekspor. Pasalnya, harga ditentukan oleh pasar internasional.

Sayangnya, sebagian besar birokrat kita sering menggampangkan persoalan. Mereka beranggapan dengan membuka industr crumb rubber bagi asing seluas-luasnya, maka pengusaha nasional akan dipaksa berkompetisi melawan asing. Di sinilah kelirunya para birokrat kita. Tanpa bersaing dengan asing saja, produsen crumb rubber lokal sudah babak-belur akibat rendahnya utilisasi kapasitas terpasang karena bahan baku yang amat terbatas. Bisa dibayangkan kalau jumlah pemain ditambah, apalagi asing, tentu akan kian berdarah-darah.

Birokrat kita juga mestinya paham, jika asing yang dominan sebagian besar nilai tambah industri karet tadi akan direpatriasi ke negeri asalnya. Sedangkan tenaga kerja yang terserap juga tidak akan banyak. Lha wong yang sekarang aja banyak yang idle karena kurangnya bahan baku. Penerimaan perpajakan? Kita lihat saja tambahan apa yang bisa diperoleh dari industri yang kapasitas terpasangnya makin melorot. Sedangkan devisa ekspor yang dibangga-banggakan, sudah pasti wujudnya ada di negeri asing juga. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia (BI) hanya kebagian mencatat saja.

Sampai akhir 2017, total industri crumb rubbertercatat 3,629 juta ton. Dari jumlah itu, yang diserap industri hilir karet hanya sekitar 630.000 ton. Sisanya yang 3,226 juta ton habis diekspor dengan devisa yang dihasilkan sebesar US$5,2 miliar. Angka ini naik 61,2% ketimbang tahun sebelumnya. US$5,2 miliar itu lumayan banyak, lho.

Mungkin pak Menteri berasumsi, kalau industri crumb rubberlebih banyak asingnya, maka pembelian bahan olah karet (Bokar) petani bakal meningkat. Maaf ya, sama sekali tidak ada jaminan ini terjadi. Yang ada, mungkin justru sebaliknya. Lonjakan biaya produksi akibat makin banyaknya pemain, tidak serta-merta bisa dimasukkan ke harga ekspor.

Pada titik ini, pabrikan terpaksa akan menurunkan harga pembelian Bokar petani. Jika sekarang komposisinya masih sekitar 85% dari FOB SIR, bukan mustahil pabrikan bakal menurunkan jadi 80% atau lebih rendah lagi.

Jadi, pak menteri, sebaiknya niat anda itu dikaji lagi dengan benar-benar cermat. Ngeri membayangkan yang terjadi jika rencana tersebut melenggang. Pelaku lokal dipastikan bergelimpangan. Bukan hanya itu, asumsi mendongkrak pendapatan petani juga cuma jadi ilusi. Jangan karena kebijakan tak cermat malah jadi kiamat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun