Indonesia memang sudah lama jadi langganan pujian dari International Monetary Fund (IMF). Yang teranyar, pujian datang dari Managing Director IMF, Christine Lagarde yang mengatakan perekonomian Indonesia saat ini sudah berjalan dengan sangat baik.
Dulu, sesaat sebelum diterjang krisis moneter pada 1998, Indonesia juga menuai banjir pujian dari IMF, Bank Dunia, dan kalangan pasar. Dikatakan fundamental ekonomi kokoh dan kuat, ekonomi sudah berjalan di track yang benar, dan lainnya, dan seterusnya.
Namun sejarah pula yang membuktikan, bahwa IMF bisa disebut sebagai dalang Indonesia tenggelam dalam krisis moneter yang berujung pada kiris politik. Kisahnya berawal saat krisis moneter (krismon) baru menghantam Thailand akibat kredit macet di sektor properti yang kelewat gede. Sejumlah negara ASEAN mengambil langkah antisipasi berbeda. Korea Selatan merestrukturisasi utang seluruh korporat bermasalah mereka. Hasilnya top. Ekonomi Korsel lolos dari pusaran krisis.
Malaysia mengambil tindakan yang sama sekali tidak disukai pasar. Mahathir membatasi lalu lintas kapital keluar. Tak pelak lagi, Malaysia panen caci maki dari para pelaku pasar dan berbagai lembaga keuangan dunia. Tapi, pilihan Mahathir terbukti tepat. Malaysia selamat dari tsunami krismon.
Sebaliknya, Indonesia justru memilih jadi pasien IMF. Celakanya, ibarat dokter IMF bukanlah penyembuh. Resep-resepnya ngawur dan bias dengan berbagai kepentingan yang didomplengkan. Akibatnya bisa ditebak. Bukannya sembuh, ekonomi Indonesia justru terjun bebas ke minus 13,2%. Krisis moneter juga memacu arus modal keluar meningkat pesat. Angkanya mencapai US$5 miliar. Dolar Amerika pun terbang hingga 600% dalam setahun, dari Rp2.500/US$ menjadi Rp17.000 pada Januari 1998. Moodys mengganjar peringkat utang jangka panjang Indonesia menjadi junkbond.
Resep-resep IMF lainnya yang justru membuat Indonesia sekarat antara lain, meminta pemerintah mengerek suku bunga SBI dari 16% jadi 80%. Ini yang menyebabkan terjadinya krisis likuiditas pada sistem perbankan nasional.
Yang tidak kalah konyolnya, IMF mendesak Pemerintah menutup 16 bank tanpa persiapan yang memadai. Kepercayaan publik terhadap perbankan nasional pun hancur berkeping-keping. Terjadi rush dimana-mana dalam jumlah luar biasa. Penutupan 16 bank menyeret lumpuhnya puluhan bank lainnya.
Puncak dari kegilaan IMF adalah ketika meminta pemerintah mengambil alih sebagian besar utang swasta yang jumlahnya sekitar US$82 miliar. Caranya, dengan mengubah utang swasta menjadi utang publik. Maka disuntikkanlah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Tiba-tiba saja Pemerintah menangung terhadap swasta sebesar Rp647 triliun.
Drama krismon mencapai titik klimaks, saat Presiden Soeharto atas desakan IMF mencabut subsidi BBM yang melambungkan harganya jadi sangat tinggi. Tak pelak lagi, kerusuhan merebak di sejumlah kota besar sepanjang Mei 1998. Inilah yang pada akhirnya menumbangkan Soeharto setelah 32 tahun berkuasa.
Dewa Amputasi
Berdasarkan seabreg kesalahan IMF tersebut, pendiri lembaga think tank ECONIT Advisory Rizal Ramli menyebut IMF adalah Dewa Amputasi. Bukan itu saja, Rizal Ramli juga menulis di koran international memberi kuliah di sejumlah lembaga bergengsi, antara lain Carnegie Center, Washington DC dan Oxford tentang malpraktek IMF di Indonesia.
Gayung bersambut. IMF akhirnya bentuk komite review tentang Indonesia dipimpin Montek Aluwalia, yang kemudian jadi Menteri Perencanaan India. Setelah melakukan serangkaian penelitian dan wawancara, termasuk dengan Rizal Ramli, dua tahun kemudian komite itu menerbitkan laporan yang berisi pengakuan berbagai kesalahan IMF di Indonesia.
Perilaku serampangan IMF di Indonesia juga menyebabkan penyesalan luar biasa dari mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono. Dia merasa kesalahan paling besar sepanjang karirnya adalah ikut membujuk Presiden Soeharto menandatangani letter of intent (LoI) yang disusun IMF. Belakangan Moerdiono meyakini LoI itu sengaja dirancang untuk gagal agar Indonesia tenggelam lebih dalam pada kubangan krisis. Keyakinanan itu didasari fakta adanya 140 prasyarat (condionalities) yang tidak masuk akal, sebagian besar sama sekali tidak ada hubungannya dengan stabilitas moneter dan kurs rupiah.
Jadi, kalau kini Lagarde datang ke Indonesia dan menabur pujian, tentu kita layak waspada. Bahkan Wakil Ketua DPR Fadli Zon melalui akun twitternya @fadlizon, Selasa, 27 Februari 2018, menulis "Hati-hati pujian beracun". Dia menjelaskan, pada waktu krisis ekonomi dan politik 1997/1998, IMF juga memuji-puji perekonomian yang disebutnya kuat secara fundamental. "Tapi setelah itu menyiram bensin ke tengah api," cuitnya lagi.
Jadi, bagaimana kita membaca Lagarde kali ini. Patut diduga dia ingin memastikan agenda liberalisasi di Indonesia berjalan seperti yang digariskan. Entah ada-tidak hubungannya, sesaat sebelum Direktur Pelaksana IMF itu berkunjung, tiba-tiba harga BBM naik. Seperti biasa, Pemerintah kita memang terbiasa memberi 'sesaji' bagi petinggi asing yang bertandang. Kali ini, sajen itu adalah kenaikan harga BBM.
Saat diajak blusukan di pasar Tanar Abang oleh Jokowi, raut wajah Lagarde memang tampak sumringah. Ada kepuasan terpancar dari sana. Dia pun memuji-muji pemerintahan Jokowi. Bisa jadi, pujian disampaikan karena Indonesia dianggap masih dan tetap setia pada jalur neoliberalisme.
Jangan lupa, Oktober tahun ini kita menjadi tuan rumah Annual And Spring Meetings Of The IMF-The World Bank Group, di Bali. Bisa jadi juga, Lagarde hendak memastikan Indonesia sanggup menggelontorkan fulus nyaris Rp1 triliun. Jumlah yang menurut Menkeu Sri Mulyani normal dan wajar, di tengah kesulitan likuiditas proyek-proyek infrastruktur, melebarnya defisit anggaran, dan menjulangnya utang.
Namun, di atas semua tadi, agenda terpenting kedatangan Lagarde adalah kembali menegaskan sinyal agar Jokowi menggandeng Sri Mulyani sebagai cawapres pada laga 2019. Untuk itu, sejumlah strategi dan program sudah mereka susun. Antara lain, dengan memoles citra Sri hingga seolah-olah dia sosok dan ekonom sempurna. Langkah itu termasuk mengguyur perempuan kelahiran Lampung itu dengan berbagai penghargaan di level regional dan internasional. Yang terbaru, adalah gelar sebagai menteri terbaik dunia.
Sayangnya, banyak rakyat Indonesia menjadi korban proyek pencitraan tersebut. Para korban itu bahkan termasuk mereka yang dianggap kalangan menengah dan terdidik. Semua kinerja kinclong yang dijadikan parameter penghargaan tadi tidak sesuai dengan data fakta di lapangan.
Soal keberhasilan Sri menurunkan utang luar negeri sampai 50%, misalnya, ini adalah dagelan yang ngawur dan amat tidak lucu. Lha wong faktanya selama dia menjadi Menkeu, utang Indonesia terbang hingga nyaris Rp4.000 triliun. Begitu juga dengan sukses dia memangkas kemiskinan 40%. Faktanya kemiskinan memang turun, tapi tidak sampai 4%.
Jika semua rencana itu berjalan mulus, maka sempurnalah Indonesia jatuh dalam genggaman neolib global. Kita punya Menkeu pejuang neolib yang gigih. Kendati tidak semoncer Sri, Menko Perekonomian Darmin Nasution pun setali tiga uang. Sejumlah menteri ekonomi juga kerap menelurkan kebijakan dengan aroma neolib menyengat.
Bayang-bayang kian kuatnya cengkeraman neolib ke Indonesia, tampak dari disorongkannya Perri Wardjijo sebagai calon tunggal Gubernur Bank Indonesia (BI). Jangan lupa, Perry pernah menduduki posisi penting selama dua tahun sebagai Direktur Eksekutif di IMF, mewakili 13 negara anggota yang tergabung dalam South-East Asia Voting Group.
Pepatah mengatakan, keledai tidak akan masuk ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Padahal keledai sering dianggap sebagai hewan paling bodoh. Pertanyaannya, mosok sih bangsa Indonesia lebih bodoh daripada keledai? (***)
Jakarta, 28 Februari 2018
Edy Mulyadi, Direktur Porgram Centgre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H