Goal akhir menjadi Presiden inilah yang menjadi benang merah dari guyuran penghargaan yang dia terima dan aneka kebijakannya selama menjadi Menkeu bagi dua Presiden. Soal parameter yang digunakan sama sekali tidak seusai dengan fakta, itu perkara lain.
Bagaimana menjelaskan njomplang-nya antara data-data dan fakta-fakta yang dengan parameter yang dijadikan landasan Konsultan Ernst and Young dalam memberi penghargaan?
Soal Sri yang dianggap berhasil menurunkan angka kemiskinan hingga 40%, misalnya. Saat menjadi Menkeu pada akhir Juli 2016, kemiskinan penduduk Indonesia saat itu 27,7 juta atau 10,7%. Lalu, angkanya menjadi 26,6 juta orang atau 10,12% per September 2017. Turun, sih, tapi tidak sampai 4%.
Dalam periode lima tahun terakhir, data kemiskinan mencapai 28,2 juta (11,25%). Memang, turun juga. Tapi lagi-lagi hanya 5,7%. Menjadi aneh kalau E&Y Â menyebut angka kemiskinan terjun hingga 40%. Dari mana lembaga itu memungut angkanya? Dari Hong Kong? Lagi pula, ternyata panitia dari E&Y Â adalah teman-teman Sri saat kuliah. So, pencitraan model begini biasa di lingkungan finance community.
Begitu juga dengan parameter berupa reducing income in equality, boosting job creation, dan indeks transparansi. Semuanya jauh panggang dari api. Yang paling menggelikan, E&Y menyebut Sri sukses menurunkan utang hingga 50%. Lha wong dalam dua tahun menjadi Menkeu, utang Indonesia justru bertambah US$22 miliar dari US$154 miliar pada 2016 menjadi US$176 miliar di awal 2018. Ini kan superngawur. Satu-satunya pemerintahan yang berhasil menurunkan utang luar negeri hanya terjadi di era Gus Dur.
Jangan lupa, E&Y bukanlah perusahaan yang berkompeten di bidang penilaian tentang kemiskinan, income gap, dan korupsi. Soal korupsi jadi porsinya Lembaga Transparansi. Pastinya, Ernst & Young adalah satu dari big four Kantor Akuntan Publik (KAP) yang banyak cari kerja di Indonesia.
Jadi, buat para pendukung Jokowi, please deh jangan naif. Kalau sampeyan-sampeyan mengelu-elukan Sri karena dianggap cocok mendampingi Jokowi sebagai Capres pada 2019, rasanya kok kurang baca. Para neolib itu berprinsip, kalau bisa dapat paus kenapa harus puas dengan lumba-lumba? (*)
Â
Jakarta, 13 Februari 2018
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for economic and Democracy Studies (CEDeS)
Â