Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Money

Impor Beras, Kanker Stadium 4, dan Jempol Kaki

22 Januari 2018   13:38 Diperbarui: 22 Januari 2018   13:44 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Bukti lain betapa serampangannya mereka yang diamanahi jabatan publik, adalah fakta Badan Urusan Logistik (Bulog) menyiapkan Rp15 triliun untuk mengimpor 500.000 ton beras. Menurut Direktur Utama Perum Bulog, Djarot Kusumayakti duit sebanyak itu untuk mendatangkan beras  dari Thailand, Vietnam, dan Pakistan.

Dengan matematika sederhana, artinya beras yang diimpor itu harganya Rp30.000/kg. Bukan main... Dagelan model apa lagi yang tengah dipertontonkan? Tidakkah cukup kalian menyakiti batin dan memorakporandakan dapur para petani? Mengapa masih harus ditambah dengan pamer kedegilan yang amat absurd? Tidakkah ada secuil empati kalian terhadap petani kita?

Bisa sejahterakan petani

Angka-angka itu memang sungguh tidak masuk akal. Bayangkan, kalau saja Rp15 triliun itu dialokasikan untuk membeli padi petani yang sebentar lagi panen, betapa sejahteranya petani kita. Tentang harga beras yang belakangan ini terus naik, itu lebih disebabkan oleh permainan para mafia beras. Mereka sengaja 'menggoreng' pasar beras sedemikian rupa, untuk menimbulkan kesan terjadi kelangkaan. Dengan begitu, izin impor pun keluar. Selanjutnya para mafia kartel bisa kembali berpesta-pora.

Usai rapat koordinasi pembahasan HPP beras di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Kamis (4/1), Djarot mengatakan, stok beras Bulog di awal 2018 mencapai hampir satu juta ton. Dia memperkirakan, stok beras Bulog tersebut cukup untuk menutup kebutuhan rastra atau bantuan sosial untuk empat bulan lebih. Artinya, tidak ada alasan Pemerintah ngotot mengimpor beras menjelang panen raya.

Carut-marut penangangan perberasan nasional membuat Kepala Bulog keenam periode 2000-2001 Rizal Ramli merasa geram. Dia minta impor beras dibatalkan. Kalau pun tidak mungkin dibatalkan, maka beras impor tadi seluruhnya harus masuk gudang-gudang Bulog. Setelah itu, karena musim panen telah tiba, Bulog harus aktif membeli padi/petani petani.

Rasanya terlalu lelah mengeritik para penguasa. Semua kritik dan saran tadi bak angin lalu di telinga dan hati mereka. Para pejabat publik terlalu asyik dengan fantasi dan imajinasi masing-masing. Mereka tidak peduli terhadap dampak dari semua itu. Jangankan dampak buruk bagi rakyat, efek negatif yang mungkin terjadi kepada Presiden selaku bos pun, mereka tidak peduli. Soal rakyat jadi tidak suka kepada Presidennya, itu bukan urusan para menteri. Soal elektabilitas Presiden bakal tergerus pada 2019, jangan-jangan memang itu tujuannya.

Presiden cuek?

Sayangnya, Presiden Jokowi pun sepertinya cuek saja dengan fenomena ini. Padahal mustahil Jokowi tidak tahu, bahwa masalah terberat Indonesia dalam tiga tahun pemerintahannya adalah ekonomi. Di tangan para menteri neolib, pertumbuhan ekonomi kita tidak beringsut jauh dari 5%. Jumlah pengangguran juga cenderung naik. BPS melaporkan, Agustus 2017 yang dirilis November 2017, jumlah pengangguran naik 100.000 orang menjadi 7,04 juta.

Sekadar informasi, kriteria bekerja versi BPS sama sekali berbeda dengan kriteria awam. Menurut BPS, bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan paling sedikit satu jam secara tidak terputus selama seminggu yang lalu. Jadi, menurut BPS, kalau anda bekerja sejam seminggu yang lalu, maka anda bukanlah pengangguran. Seru, kan?

Di tengah melambungnya angka pengangguran, tren deindustrialisasi, dan terjunnya daya beli, Menteri Keuangan Sri Mulyani yang neolib itu justru sibuk menggenjot pajak, mengulik Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari rakyat kelas bawah, dan memangkas anggaran sosial di APBN yang berdampak naiknya harga-harga. Dia juga terus saja membuat utang baru. Jumlahnya benar-benar nyaris menyentuh Rp4.000 triliun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun