Ibarat saluran listrik, huru-hara soal beras yang terjadi beberapa hari ini sekali lagi menunjukkan ada yang korselet dari kebijakan pemerintah. Menjelang panen raya, pemerintah justru mengimpor beras. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, 500.000 ton.
Alasan impor juga menunjukkan korseleting pemerintah. Katanya, untuk menekan harga beras yang tinggi. Kasihan rakyat kalau harga beras tinggi. Itulah sebabnya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaeman berkata, impor beras wujud kecintaan Presiden kepada rakyat. Lucu bin menggelikan!
Kritik pun deras berhamburan. Impor beras membuat petani menjerit. Pasar yang banjir dipastikan membuat harga beras petani bakal hancur. Itulah sebabnya banyak kepala daerah terang-terang menolak masuknya beras impor. Pasalnya, panen raya di daerah mereka sebentar lagi berlangsung. Mereka tidak mau petani yang mestinya gembira saat panen, malah jadi berduka karena harga beras mereka terjun. Ini baru bener.
Eh, tiba-tiba Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito mengatakan, yang diimpor beras khusus tapi akan dijual setara dengan harga beras medium. Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, menambahkan impor beras untuk keperluan lain, bukan untuk kepentingan umum. Beras khusus yang diimpor tidak ditanam di dalam negeri. Jika tujuannya untuk mengendalikan harga beras medium, kenapa mengimpor beras khusus? Korselet lagi.
Seperti ingin nimbrung ke dalam arena korselet, Wakil Presiden Jusuf Kalla bilang beras impor sebanyak 500.000 ton itu akan habis hanya dalam tempo seminggu. "Jangan lupa bahwa konsumsi kita per bulan itu 2,5 juta ton beras. Jadi (impor) ini hanya untuk konsumsi seminggu," ujar JK di kantornya, Senin (15/01).
Komisi besar
Impor beras sudah lama menjadi solusi instan atas masalah perberasan nasional. Alasannya selalu saja klasik dan seolah-olah mulia sekali, untuk memperkuat stok nasional. Untuk menurunkan harga beras agar rakyat bisa menjangkau. Tapi, benarkah demikian?
Ekonom senior Rizal Ramli yang pernah menjadi Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) era Presiden Gus Dur punya pendapat berbeda. Impor beras bukanlah solusi bijak, apalagi satu-satunya, bagi masalah perberasan nasional. Impor beras adalah cara gampang koalisi penguasa dan pengusaha memgeruk keuntungan dalam jumlah jumbo.
"Ada fee cukup besar dari tiap impor beras. Angkanya berkisar US$20-US$30 per ton alias Itulah sebabnya para pejabat sangat bersemangat mengimpor beras. Mereka mengantongi komisi yang sangat besar. Mereka juga tidak peduli bahwa impor beras itu memukul petani yang kehidupannya sudah sulit," tukas Rizal Ramli, berang.
Soal angka-angka ini memang benar menggiurkan. Saat ini harga beras medium asal Thailand dan Vietnam hanya Rp4.500/Kg. Setelah sampai di Indonesia, harga beras impor itu berkisar Rp5.000/Kg. Padahal, harga jenis medium di pasar sudah di atas Rp9.000-11.000/Kg. Bayangkan, minimal ada selisih harga Rp4.000/Kg.
Sekarang, kalikan keuntungan yang minimal Rp4.000/Kg tadi dengan volume impor yang 500.000 ton. Hasilnya, Rp2 triliun. Yang Rp2 triliun itu minimal, lho. Kalau selisih harganya Rp5.000, Rp6.000? Hmmm... Jadi, kalau para pengusaha harus menggelontorkan duit Rp150 miliar-Rp200 miliar buat para pejabat. Itu mah keciiiilll... Terjawab sudah mengapa pengusaha dan penguasa getol mengimpor beras. Tidak terkecuali JK. Selain jadi Wapres, dia kan juga pengusaha, lho.