Rencana Pemerintah menyederhanakan golongan listrik telah memantik keriuhan baru di tengah berjejalnya kegaduhan yang terjadi di negeri ini. Opini publik terbelah. Ada yang pro dan, tentu saja, juga kontra. Tapi kalau mau jujur, sepertinya lebih banyak yang kontra ketimbang setuju.
Penentangan (penentangan? Wuih..., dramatis sekali. Hehehe...), umumnya disebabkan adanya kekhawatiran rencana program tersebut bakal kian memorakporandakan kantong rakyat. Maklum, rakyat negeri ini sudah tercekik dengan naiknya harga beragam kebutuhan hidup. Maka, penyederhanaan golongan listrik pun disikapi dengan prasangka (negatif).
Pertanyaannya, benarkah penyederhanaan golongan listrik bakal kian membebani pelanggaan? Buat menjawab pertanyaan ini, yuk kita kuliti dulu program penyederhanaan golongan listrik yang memicu kehebohan ini.
Dulu, konsumen dibatasi pemakaian listriknya oleh mini circuit breaker (MCB). Maklum, saat itu kemampuan PLN memang masih terseok-seok memasok listrik. Konsekwensinya, pelanggan hanya bisa memakai peralatan listrik secara bersamaan secara terbatas.
Begini contonya. Saat pelanggan 1.300 VA (6A) bermaksud memakai aneka perlengkapan listrik secara bersamaan, MCB otomatis njeglek alias turun. Listrik padam. Pasalnya, pemakaian listrik lebih besar dari daya tersambung. Beda halnya kalau pelanggan menaikkan daya tersambung menjadi, misalnya, 5.500 VA (MCB 25A). Maka MCB tetap on. Listrik tetap menyala. Pelanggan pun happy karena bisa menikmati kehidupan rumah tangga lebih leluasa.
Berangkat dari pengalaman inilah, PLN bermaksud meningkatkan pelayanannya kepada pelanggaan. Seperti dikatakan Dirut PLN Sofyan Basir, ide penyederhanaan golongan listrik sebetulnya datang dari pelanggan. Alasannya, selama ini jika pelanggan bermaksud menaikkan daya, selalu kena biaya tambahan. Padahal, kebutuhan listrik terus meningkat, baik bagi rumah tangga maupun untuk menjalankan usaha skala rumahan alias usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Dengan penyederhanaan golongan listrik, kelak daya 1.300 VA ke atas akan didorong naik menjadi 5.500 VA. Hebatnya, kenaikan daya ini sama sekali tanpa dikenai biaya. Dari sini, pelanggan untung karena tidak perlu merogoh kocek untuk tambah daya. Sebaliknya, PLN pun demikian. Jualan setrumnya jadi laris-manis. Pada saat yang sama, pemerintah juga untung. Minimal, kalau yang listriknya naik daya adalah UMKM, maka akan ada tambahan tenaga kerja yang terserap. Di akhir tahun Pemerintah bakal memperoleh pajak. Tentu saja, kalau bisnis si UKM tadi bergulir manis dan berbuah laba.
PLN lebih pe-de
Di tangan Sofyan yang mantan bankir senior ini, PLN kini memang makin pe-de alias percaya diri. Buktinya, dia berani menawarkan program tambah daya. Hal ini dimungkinkan karena kapasitas instalasi listrik sudah mencukupi.
Sampai Januari 2015, kondisi kelistrikan sistem besar saat beban puncak di beberapa daerah memang masih defisit. Beberapa wilayah itu antara lain Sumatera Bagian Utara (-7%), Tanjung Pinang (-23%), Lampung (-34%), Sulawesi Utara-Gorontalo (-10%), dan Jayapura (-4%). Â
Tapi sejak September 2017, tidak ada lagi defisit listrik. Di sejumlah daerah bahkan memiliki cadangan daya di atas 30%. Mereka yang surplus listrik di atas 30% itu antara lain Nias, Tanjung Piinang, Khatulistiwa, Mahakam, dan Ambon.