Beberapa hari belakangan publik dibuat riuh oleh rencana Pemerintah menyederhanakan golongan listrik. Kelak, jika rencana ini berjalan mulus, penggolongan listrik akan jadi jauh lebih sederhana, yaitu golongan daya subsidi 450VA dan 900VA. Sedangkan golongan 1.300-5.500VA akan disatukan. Selebihnya ada golongan 13.200 VA dan di atas 13.200 yang akan loss stroom.
Dengan penggolongan listrik seperti ini memang jadi tidak seribet sebelumnya. Asal tahu saja, selama ini ada sedikitnya sembilan jenis golongan listrik. Dari kesembilan jenis itu, dua di antaranya menikmati tarif subsidi. Yaitu, golongan 450 VA sebanyak 23 juta pelanggan dengan tariff Rp415/KwH dan 900 VA (6 juta pelanggan) membayar Rp586/KwH.
Sisanya, golongan 900VA (nonsubsidi), 1.300VA, 2.200 VA, 3.300VA, 4.400VA, 5.500VA sampai 6.600VA ke atas. Meski tersebar dalam begitu banyak golongan, tarif yang mereka bayar sama, yakni Rp1.467,28/KwH. Tapi khusus untuk golongan 900 VA nonsubsidi (16,7 juta pelanggan) tarifnya lebih murah, yaitu Rp 1.352/KwH.
Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir menjelaskan, ide penyederhanaan golongan listrik itu sebetulnya datang dari pelanggan. Alasannya, selama ini jika pelanggan bermaksud menaikkan daya, selalu ada biaya tambahan. Padahal, kebutuhan listrik terus meningkat, baik bagi rumah tangga maupun untuk menjalankan usaha skala rumahan alias usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Dengan penyederhanaan golongan, kelak daya 1.300 VA akan didorong naik menjadi 4.400 VA, sama sekali tanpa dikenai biaya. Dari sini, pelanggan untung karena tidak perlu merogoh kocek untuk tambah daya. Sebaliknya, PLN pun demikian. Setrum jualannya jadi laris-manis. Pada saat yang sama, pemerintah juga untung. Minimal, kalau yang listriknya naik daya adalah UMKM, maka akan ada tambahan tenaga kerja yang terserap. Di akhir tahun Pemerintah bakal memperoleh pajak. Tentu saja, Â kalau bisnis si UKM tadi bergulir manis dan berbuah laba.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut, sedikitnya ada sejumlah manfaat dari penyederhanaan golongan listrik. Pertama, penyederhanaan golongan llistrik tidak berlaku bagi pelanggan 450VA dan 900VA bersubsidi. Kedua, tarif subsidi 450VA dan 900VA tetap dipertahankan. Ketiga, penyederhanaan kelas golongan pelanggan listrik tidak akan mengubah/menaikkan tarif listrik yang selama ini ada. Yang berubah hanyalah jumlah yang harus mereka bayar, sesuai dengan besarnya listrik yang dikonsumsi.
Keempat, tidak ada biaya apa pun untuk tambah daya alias gratis. Semua biaya penggantian Miniature Circuit Breaker (MCB) ditanggung PLN. Â Kelima, biaya abodemen listrik tidak naik. Keenam, penambahan daya akan mendorong UMKM makin berkembang karena bisa memperoleh daya listrik lebih besar tanpa harus kena biaya tambahan. Ketujuh, dengan bertambahnya daya, masyarakat bisa memanfaatkan kompor listrik yang biayanya lebih murah ketimbang gas LPG 3 kg hingga 50-60%. Keuangan keluarga dapat lebih irit. Secara makro, shifting ini bakal menekan impor gas LPG yang mencapai 4,5/tahun. Maklum konsumsi LPG kita mencapai 6,7 juta ton. Padahal, produksi naisonal hanya mampu 2,2 juta ton.
Sampai di sini semuanya bakal tersenyum. Cuma, barangkali, satu hal yang harus benar-benar dipastikan adalah, ketersediaan listrik yang jadi mata dagangan PLN. Pasalnya, rasanya pelanggan masih trauma dengan listrik byar-pet yang kerap menyergap mereka, khususnya di daerah-daerah tertentu. Jadi, boro-boro tambah daya, lha wong mempertahankan listrik yang ada tetap mengalir saja masih sering kedodoran.
Tapi, di sinilah canggihnya Sofyan sebagai nakhoda pabrik setrum pelat merah. Tangan dingin mantan bankir senior ini mampu mendongkrak produksi listrik dalam jumlah cukup siginifikan. Harus diakui, sampai Januari 2015, kondisi kelistrikan sistem besar saat beban puncak di beberapa daerah memang masih mengalami defisit. Beberapa wilayah itu antara lain Sumatera Bagian Utara (-7%), Tanjung Pinang (-23%), Lampung (-34%), Sulawesi Utara-Gorontalo (-10%), dan Jayapura (-4%).
Tapi sejak September 2017, tidak ada lagi defisit listrik. Di sejumlah daerah bahkan memiliki cadangan daya di atas 30%. Mereka yang surplus listrik di atas 30% itu antara lain Nias, Tanjung Piinang, Khatulistiwa, Mahakam, dan Ambon. Itulah sebabnya PLN jadi super pe-de alias percaya diri mau kali ini mau jualan listrik lebih banyak.
Selain itu, efisiensi di segala lini yang digenjot Sofyan, mampu menekan biaya pokok penyediaan (BPP) jadi lebih murah. Efisiensi itu di antaranya dengan penurunan penggunaan BBM dalam bauran energi. Jika pada 2011 porsi BBM masih di angka 23,53%, angkanya melorot jauh menjadi 6,10% per September 2017.
Masih soal efisiensi, Sofyan juga banyak melakukan gebrakan, khususnya di sisi hulu. Mulai dari menekan biaya pembangunan pembangkit baru, menegosiasi harga pembelian batu-bara, sampai bertempur melawan para mafia pemburu rente yang jadi parasit bagi PLN. Bukan rahasia lagi, bila selama ini banyak mark-up sehingga membebani keuangan PLN.
"Pesta pora sudah selesai. Tapi jangan khawatir, kami tetap menyediakan makan pagi, siang, dan malam," ujar Sofyan terkait praktik mark-up dan pat gulipat di belantara PLN yang telah marak selama belasan bahkan puluhan tahun silam.
Keruan saja gebrakan ini membuat banyak kalangan jadi 'mules' dan memusuhi Sofyan. "Ngga apa-apa. Itu risiko," tukasnya ringkas sambil senyum lebar.
Daya beli vs inflasi
Penyederhanaan golongan lisitrik dengan segala manfaatnya tadi bakal membuat konsumsi listrik melonjak. Saat ini, konsumsi per kapita listrik nasional  hanya 900 kWh per tahun. Jika program sukses, bukan mustahil angkanya bakal loncat menjadi 1.500 kwh per tahun per kapita pada dua tahun ke depan.
Sebagian orang mungkin akan mengaitkan hal ini dengan slogan hemat energi yang dikampanyekan. Kalau soal tabrakan-tidaknya dengan kampanye hemat energi , biarlah Kementerian ESDM sebagai punggawa kampanye hemat energi yang menjawab. Bukan saya, dong.
Kekhawatiran lainnya, konsumsi listrik yang melonjak bisa memicu inflasi. Ini benar dan sangat mungkin terjadi. Tapi, bukankah lonjakan inflasi juga bisa dimaknai tumbuhnya daya beli alias konsumsi publik? Bukankah dalam beberapa waktu belakangan ini kita diributkan dengan konsumsi yang terus melandai, kalau tidak mau disebut terjun? Padahal, konsumsi publik menyumbang sekitar 56% dari pertumbuhan ekonomi.
Para menteri ekonomi kita boleh saja bingung dan bengong terkait melemahnya daya beli. Bahkan Menkeu Sri Mulyani mengatakan, pelemahan daya beli pada kuartal adalah anomali. Ini adalah jurus-jurus ngeles tipikal kaum neolib. Mereka menutup mata, bahwa melorotnya konsumsi publik adalah akibat berbagai kebijakan pengetatan anggaran yang diterapkan.
Tidak berlebihan bila ekonom senior Rizal Ramli menyatakan kebijakan ekonomi superkonservatif yang ditempuh Menkeu menjadi biang keladi pelemahan daya beli masyarakat. Obat generik berupa pemangkasan anggaran khas neolib memang otomatis menyebabkan pertumbuhan ekonomi akan turun, daya beli akan anjlok.
Kalau sudah begini; inflasi, siapa takut? Justru yang harus Sri dan kawan-kawannya pikirkan adalah, bagaimana mendongkrak perekonomian bisa lebih tinggi daripada sekadar mentok di 5 koma nol sekian persen terus. Yang lebih penting lagi, mereka juga harus bekerja dengan hati ekstrakeras, dan ekstracerdas untuk menyejahterakan rakyat Indonesia, bukan sibuk menyenangkan para kreditor asingnya.
Walah, jadi ngelantur nih... Kembali ke soal penyederhanaan golongan sekaligus penaikan daya listrik tadi. Memang agak mengherankan kalau program sebagus ini kok malah menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu. Padahal, sepertinya, masalahnya cuma soal komunikasi. Itu saja. Yuk. (*)
Jakarta, 16 November 2017
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H