Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Money

Aroma Neolib Menyengat Kuat dari RUU PNBP

6 November 2017   14:07 Diperbarui: 6 November 2017   14:11 956
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Nah, kalau saja Sri, Nufransa atau siapa pun paham, hujan kritik dari publik terkait RUU PNBP, substansinya justru ada di sini. Mereka yang mengkritik, termasuk Menko Perekonomian dan Menkeu era Presiden Gus Dur, Rizal Ramli, hanya meminta agar Menkeu dan jajarannya berhenti terus mencekik rakyat dengan berbagai pungutan. Para pengritik minta agar Kemenkeu fokus pada para pengusaha yang mengambil manfaat dari pengusahaan SDA.

"Kita lawan UU yang isinya pungutan enggak jelas ini. Sudah waktunya kita berpikir besar, termasuk bagaimana pemanfaatan sumber daya alam bisa betul-betul kita tingkatkan. Enggak ada artinya duit recehan ini. Saya minta Pemerintah berani juga sama yang besar-besar. Jangan cuma berani sama rakyat kecil," tukasnya.

Rizal Ramli benar. Memangnya berapa sih yang bisa diraup negara dari aneka PNBP yang menyasar hak hidup rakyat kecil ini? Asal tahu saja, pada APBN 2017 saja, target penerimaan PNBP dipatok Rp250 triliun. Sedangkan untuk RAPBN 2018 dipatok sebesar Rp267,9 triliun. Bisakah uang receh dari hasil memalak rakyat dengan PNBP yang pada dasarnya adalah pajak berganda tadi membuat target penerimaan PNBP terpenuhi?

Jadi, buat Sri, Nufransa atau siapa pun pejabat publik yang kini memanggul amanat, berhentilah bermain dengan kata-kata. Cukup buktikan, bahwa kalian benar-benar bekerja dengan hati dalam melayani negara dan rakyat Indonesia. Tanggalkanlah ideologi neolib yang terbukti telah gagal di banyak negara, termasuk dan khususnya di Indonesia. Dan, satu lagi yang paling penting, berhentilah bekerja untuk memuaskan majikan asing kalian, apalagi jika harus memeras dan menghisap rakyat sendiri. (*)

Jakarta, 6 November 2017

Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun