Sebetulnya tidak aneh kalau kebijakan anggaran Sri seperti itu. Garis neolib yang diperjuangkannya membuat dia menyusun APBN dengan semangat mengamankan pelaksanaan APBN-P, menjaga kepercayaan pasar dan dunia usaha seperti tertulis dalam pengantar APBN tersebut. APBN dia desain agar tetap aman sehingga pasar dan dunia usaha tetap percaya.
Pasar yang dimaksud Sri jelas bukanlah pasar tradisional dengan para mbok bakul sayur yang sudah menata dagangannya sejak matahari belum lagi terbit. Jangan juga dibayangkan pasar yang dimaksud adalah area yang umumnya kumuh, becek, dan pengap, dengan hingar-bingar tawar-menawar memperebutkan seribu dua ribu perak selisih harga oleh si pembeli dan penjual. Bukan, bukan pasar yang ini.
Pasar itu adalah lembaga keuangan internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB. Pasar di sini adalah para investor, baik lokal maupun, terutama, asing. Mereka inilah yang membeli surat-surat utang negara berbunga supertinggi yang dia terbitkan. APBN harus aman, artinya harus tetap ada anggaran untuk membayar pokok dan cicilan utang!
Itulah sebabnya dia amat getol memastikan kewajiban negara ini terhadap para kreditor terpenuhi dengan sempurna. Itulah sebabnya angka-angka APBN selama Sri menjadi Menkeu selalu ditandai dengan terus menggelembungnya alokasi pembayaran utang. Tahun ini saja, ada Rp540 triliun untuk membayar bunga dan cicilan utang. Tahun depan, angkanya melonjak menjadi Rp670 triliun!
Sementara kalimat dilakukan penghematan terhadap belanja operasional dan belanja barang. Hasil penghematan itu selanjutnya dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan prioritas, terutama untuk menjaga kesejahteraan rakyat dan memberikan stimulus kegiatan perekonomian,adalah palsu belaka. Bagaimana mungkin kesejahteraan rakyat meningkat kalau mereka dibiarkan berakrobat jungkir-balik untuk mengatasi beban hidup yang kian berat saja? Bagaimana rakyat bisa sejahtera kalau Menkeunya hobi membebani mereka dengan berbagai pajak dan aneka pungutan lain?
Sebagai Bendahara Negara yang gaji dan fasilitasnya dibayari rakyat, semestinya Sri bekerja untuk rakyatnya. Porsi terbesar dari waktu, pikiran, dan tenaganya harus ditumpahkan untuk mensejahterakan rakyat. Lagi pula, bukankah sumpah yang diucapkannya saat dilantik menjadi Menteri memang begitu? Lalu, kenapa rekam jejaknya dipenuhi dengan ketiadaan empati atas penderitaan rakyatnya sendiri?
Anak kecil juga tahu
Dalam rangka membela bosnya, Nufransa di antaranya menulis; fakta pelayanan pemerintah pada masyarakat didanai bukan hanya dari PNBP, tapi juga dari sumber penerimaan perpajakan.
Kalau soal ini, anak kecil juga tahu, bos. Bahwa pajak yang dipungut pemerintah antara lain untuk membiayai birokrasi dalam melayani rakyat jelas sudah pasti dan seharusnya. Tidak perlu kuliah ekonomi apalagi sampai bergelar doktor plus menjadi pejabat eselon 2 untuk paham perkara begini.
Tapi, justru di sinilah inti persoalannya. Rakyat sudah dikenai bermacam pajak, mosok untuk memperoleh pelayanan dasar dari birokrasi harus dipalak lagi? Ini kan sama saja rakyat dikenai pajak berganda. Hanya penjajah dan para anteknya saja yang berpendapat pendidikan dan kesehatan bukanlah kebutuhan dasar rakyat.
Mereka yang beranggapan seperti ini jelas menabrak konstitusi, khususnya alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Untuk menyegarkan ingatan, saya kutip lengkap bunyi pasalnya. Begini bunyinya; Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.