Dalih yang dikedepankan adalah intensifikasi dan ekstensifikasi pajak. Padahal, pasti Sri tahu, bahwa nafsunya memalaki rakyatnya dengan berbagai printal-printil tadi pasti tidak akan menghasilkan penerimaan yang signifikan. Pada saat yang sama, kehebohan itu justru membuat beban rakyat makin berat saja. Secara politis, ini bisa menganggu target-target Presiden, terutama dikaitkan dengan Pilpres 2019.
Kejar yang kakap
Sejatinya, kalau mau, Sri bisa berkonsentrasi mengejar potensi pendapatan pajak dari kelompok kakap. Dia, umpamanya, bisa menjadikan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang pengemplangan pajak yang dilakukan PT Freeport Indonesia sebesar Rp6 triliun.
Atau, Menkeu bisa mengerahkan kesaktiannya untuk mengulik kembali kasus Honggo Wendratno dan Raden Priyono. Mereka adalah dua orang tersangka kasus korupsi pencucian uang terkait penjualan kondensat bagian negara yang melibatkan BP Migas, Kementerian ESDM, dan PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI). Kasusnya terjadi pada periode 2009 sampai 2010.
Honggo adalah Pendiri PT TPPI yang diduga mengambil kondensat bagian negara dari BP Migas tanpa kontrak yang sah. Sedangkan Raden Priyono adalah kepala BP Migas. Dalam uditnya, BPK menyatakan total kerugian negara dalam kasus ini mencapai US$2,715 juta lebih atau sekitar Rp34 trilliun. Jumlah ini jelas sangat signifikan memberi tambahan dari sisi penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Tapi, bedasarkan rekam jejaknya, lagi-lagi publik ragu apakah Sri akan mau mengejar para 'rakyat besar' itu. Selama ini dia dikenal sangat galak memalak pajak terhadap rakyat kecil. Sebaliknya, kalau terhadap yang besar-besar, dia cenderung mencari jalan aman. Bahkan, kepada Freeport yang berkali-kali menabrak aturan dan perundang-undangan serta jelas-jelas menunjukkan arogansi luar biasa, dia justru sibuk menyusun aturan yang bakal meringankan pajaknya.
Resep lama
Yang mungkin dia akan lakukan sehubungan lunglainya penerimaan perpajakan, Sri akan kembali menerapkan resep lama. Memangkas anggaran dan membuat utang baru. Sejak menjadi Menkeu pada Juli 2016, sampai Oktober 2016 (hanya dalam tempo tiga bulan), dia sudah memotong anggaran di APBN 2016 sebesar Rp133,8 triliun. Dalam penjelasannya kepada pers dia mengatakan, pemotongan anggaran dilakukan karena kemungkinan penerimaan negara dari sisi pajak bakal kurang sekitar Rp219 triliun.
Kebijakan Sri yang memangkas anggaran adalah bukti nyata bagaimana dia begitu setia dengan kacamata kuda neolibnya. Padahal, pemotongan anggaran hanya bagus di mata pasar (baca: World Bank, IMF, ADB, dan para konconya). Kenapa? Karena dengan memotong anggaran nilai aset di dalam negeri bakal stagnan, bahkan bisa turun. Nah saat itulah investor getol belanja aset di sini.
Pemotongan anggaran juga memberikan ruang fiskal lebih luas bagi APBN. Kelonggaran ini dimanfaatkan untuk membayar bunga dan pokok utang luar negeri. Tentu saja, para bond holder bersorak-sorai karenanya. Apalagi Sri memang sangat dikenal sebagai Menkeu yang rajin mengobral bunga supertinggi untuk tiap obligasi yang diterbitkan negeri ini.
Kemungkinan kedua yang bakal dia lakukan, adalah kembali membuat utang baru. Data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu menyebutkan, hingga akhir Agustus 2017, jumlah utang kita mencapai Rp3.826 triliun. Jumlah ini sudah sangat luar biasa besar.