Teman saya yang kolumnis bilang, saya nyinyir terhadap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI). Alasannya, bolak-balik saya menulis yang isinya mengkritisi berbagai kebijakannya. Dia juga bertanya, apa saya tidak punya tema lain kecuali mengkritisi kebijakan Ani, begitu SMI biasa disapa? Dia bahkan 'melabeli' saya dengan "SMI Watch".
Mendapat 'serangan' bertubi-tubi semacam ini saya cuma senyum-senyum saja. Saya pikir ah, guyon dia. Tapi, beberapa saat kemudian saya mulai berpkir. Jangan-jangan dia serius nih. Maksud saya, dia serius dengan tuduhannya itu, bahwa saya nyinyir terhadap Ani. Begitu nyinyirnya saya, sampai-sampai mendapat julukan SMI Watch.
Jika dugaan saya benar (mudah-mudahan keliru), bahwa sahabat saya tadi serius dengan berbagai tudingannya terhadap saya, maka ini sunggu membuat saya miris. Bayangkan, kawan ini adalah kolumnis. Dia rajin dan sangat produktif dalam menulis. Tiap pekan sedikitnya dia menghasilkan dua sampai tiga tulisan yang disebar di berbagai media daring dan grup-grup WA. Tulisannya bagus. Alur logikanya runut dan mengalir enak. Pilihan kata (diksi) yang digunakan juga tidak kaku, bahkan cenderung ngepop. Dan, satu lagi, materi tulisannya juga sering mengkritik penguasa dengan cara yang benar-benar gurih. Tidak ada marah-marah, tidak ada menista, bahkan diselipkan candaan di sana-sini.
Nah, dengan profil seperti ini, maka sungguh benar-benar membuat saya miris kalau dia menuduh saya nyinyir kepada Ani. Bukan karena saya tidak suka dituduh. Tapi lebih pada, maaf, ketidakmampuannya menangkap substansi tulisan saya. Kalau kelas kolumnis seperti dia saja gagal paham tentang Sri Mulyani, bagaimana pula dengan publik awam lainnya?
Aroma neolib menyengat
Saya katakan kepada dia, bahwa saya tidak bermaksud menyinyiri Ani. Kalau pun saya bolak-balik menulis terkait dia, itu lebih pada kebijakan-kebijakannya selaku dua kali Menteri Keuangan (Desember 2005-Mei 2010 dan Juli 2016-sekarang) dan Plt Menko Perekonomian (Juni 2008-Oktober 2009). Saya mengendus aroma neolib yang amat menyengat dari setiap kebijakannya.
Neolib adalah satu mahzab ekonomi yang menyerahkan segala sesuatunya kepada pasar. Mazhab ekonomi yang berusaha dengan sangat serius meminimalisasi peran negara dalam tata lakasana kebijakan di bidang perekonomian untuk kepentingan korporatokrasi. Neolib, satu paham yang mendorong terjadinya free competition di jagad binsis, siapa pun pelakunya, baik skala mikro, kecil, menengah, maupun raksasa supergede; baik lokal maupun multinasional asing dan aseng.
Neolib adalah mazhab ekonomi yang membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya kapitalisme dengan dalih globalisasi, meski untuk itu akan berdampak tergilasnya pelaku bisnis lokal yang dari segala sisi (dana, teknologi, jaringan pemasaran, dan kini, kekuasaaan) kalah telak dibanding para pendatang. Padahal, jauh-jauh hari Bung Karno mengatakan, bahwa neolib adalah pintu masuk bagi neokolonialisme.
Itulah sebabnya tulisan saya banyak mengkritisi kebijakan, terutama menyangkut pajak dan utang luar negeri. Saya juga menyoroti postur beberapa APBN yang dia desain yang, lagi-lagi, sangat beraroma neolib. Bagaimana dia bisa dengan telengas memotong berbagai anggaran, termasuk (terutama?) belanja sosial di satu sisi, namun teguh memelihara pos pembayaran utang yang komposisinya sekitar 25% dari volume APBN di sisi lainnya.
Sebagai Menkeu, Ani sudah terbukti tidak peduli bahwa pemotongan belanja sosial menyebabkan harga gas, listrik dan berbagai komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak terus merangkak naik. Sebagai Bendahara Negara dia juga sangat galak dalam memalak rakyatnya dengan berbagai pajak. Di benaknya sarat dengan ide apa saja dan apa lagi yang bisa ditarik pajaknya dari rakyatnya. Yang terbaru, dia getol meminta mahasiswa untuk punya NPWP. Pada saat yang sama, dia abai bahwa ada sedikitnya delapan orang terkaya di Indonesia sampai hari ini tidak punya NPWP.
Sri juga sangat bersemangat dalam membuat utang baru. Penerbitan obligasi semasa dia Menkeu tercatat bunganya paling tinggi dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Sebagai pembantu Presiden yang bertugas mengelola keuangan negara, dia bahkan sesumbar tidak perlu takut membuat utang baru karena Indonesia punya sumber daya salam yang berlimpah-ruah yang bisa digunakan untuk membayar utang.