Menjelang Ramadhan berakhir, rakyat tidak hanya disodori melonjaknya berbagai harga kebutuhan. Dari balik tembok Istana, sayup-sayup juga berembus kabar Presiden Jokowi bakal kembali mengocok ulang anggota kabinetnya. Beberapa nama berseliweran, baik akan diganti, digeser, maupun didapuk masuk kabinet.  Konon, reshuflle  bakal digelindingkan habis Lebaran, atau selambatnya akhir Juni 2017.
Sebagian besar rakyat sebetulnya sudah tidak terlalu peduli dengan gonjang-ganjing pergantian menteri. Faktanya, setelah berkali-kali bongkar pasang menteri, toh ekonomi kita tetap saja seperti jalan di tempat. Dan, yang paling mereka rasakan, beratnya beban kehidupan tidak kunjung berkurang. Yang ada justru sebaliknya, rakyat dikepung harga-harga yang makin mencekik.Â
Pasrah apalagi skeptis tentu bukan sikap bijak. Biar bagaimana juga, perkara ekonomi terlalu penting kalau harus diserahkan bulat-bulat kepada seglintir orang saja, termasuk kepada Presiden sekali pun. Soal ekonomi adalah persoalan penting, bahkan sangat penting. Sudah selayaknya lebih banyak orang yang terlibat, minimal dalam memberikan perhatian dan masukan kepada Presiden.
Pada titik ini, kita ingin mengingatkan kembali Presiden, kalau reshuffle jadi dilakukan, agar kali ini benar-benar tidak salah pilih orang. Tim ekonomi dibawah komando Darmin Nasution hasil perombakan Juli tahun silam, ternyata nyaris tidak berprestasi apa-apa. Paket deregulasi kebijakan ekonomi memang berjilid-jilid digulirkan. Namun hingga paket ke-14, nyatanya tidak kunjung 'nendang.' Hasilnya, ya itu tadi, ekonomi jalan di tempat, beban rakyat makin berat, dan tingkat kepuasan rakyat terhadap Jokowi makin gawat.
Sri gantikan Darmin?
Gosip yang beredar menyebutkan Menkeu Sri Mulyani bakal menggantikan Darmin selaku Menko Perekonomian. Jika gosip ini benar, tentu sangat disayangkan. Terlampau banyak fakta membuktikan, bahwa perempuan yang satu ini hanya hebat di media. Keandalan Ani, begitu dia biasa disapa, adalah hasil pencitraan media sebagai buah kolaborasi dengan kepentingan asing. Selebihnya, dia hanyalah sosok gelembung balon yang ditiup dengan terlalu bersemangat. Meletusnya sang balon hanyalah soal waktu belaka.Â
Saat ekonomi relatif stabil seperti sekarang, Ani nyaris tidak berhasil menunjukkan prestasi. Faktanya, perolehan pajak terus di bawah terget, kendati berkali-kali dikoreksi (baca diturunkan) lewat APBN-P. Pada 2016, misalnya, total pajak yang berhasil dihimpun (tanpa memasukkan hasil tax amnesty) hanya Rp998 triliun. Angka ini sama artinya cuma 73,6% dari target APBN-P 2016Â Â yang Rp1.335 triliun. Padahal pada tahun sebelumnya, total pendapatan pajak mencapai Rp1.060 triliun, atau sekitar 81,9% dari target APBN Perubahan 2015.
Sebagai bendahara negara, kemampuan perencanaan Sri juga terbilang parah. Buktinya, untuk kesekian kalinya dia merevisi APBN, khususnya terkait penerimaan. Anjloknya pendapatan negara membuat defisit APBN lagi-lagi diperlebar. Yang terbaru, Senin (19/6), Menkeu menyatakan defisit APBN 2017 bakal melebar dari 2,4% menjadi sekitar 2,6% bahkan bisa lebih. Dalam rupiah, penggelembungan deifisit ini mencapai Rp370 triliun.
Menurut ibu tiga anak ini, pelebaran defisit karena pajak diprediksi bakal meleset sekitar Rp50 triliun. Pada saat yang sama, pengeluaran justru membengkak Rp10 triliun. Akibatnya, terjadi tambahan pembiayaan untuk menutup defisit fiskal hingga mencapai Rp37 triliun-Rp40 triliun.Â
Memperlebar defisit anggaran bukan pertama Ani lakukan. Tahun silam, dia juga menambah defisit APBN 2016. Lagi-lagi penyebabnya sama, penerimaan pajak mengalami shortfall mencapai R219 triliun. Padahal,penerimaan itu sudah memperhitungkan target tambahan dari pengampunan pajak sebesar Rp165 triliun. Namun saat itu dia memilih memangkas anggaran belanja. Akibatnya, jumlah anggaran yang kena pangkas mencapai Rp133,8 triliun.
Kendati sudah mengencangkan ikat pinggang, defisit anggaran akhirnya tetap saja membengkak menjadi 2,5% terhadap PDB. Nilai rupiahnya mencapai 313,7 triliun atau lebih tinggi ketimbang target defisit APBNP 2016 sebesar 2,35% yang Rp296,7 triliun. Konsekwensinya, ada kebutuhan tambahan pembiayaan defisit sebesar Rp17 triliun. Solusinya, seperti biasa, pemerintah menambah utang dengan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) untuk menambal tambahan defisit tadi.