Saya pernah mendengar dari seorang teman yang menjadi dirut BUMN lumayan besar dan strategis, betapa tidak pahamnya Luhut terhadap soal-soal ekonomi. Suatu ketika si Dirut ini dipanggil Luhut. Dia diminta menjelaskan ke arah mana dan bagaimana akan mengembangkan perusahaan yang dinakhodainya ke depan. Baru beberapa menit menyampaikan ‘presentasinya’, Luhut sudah memotong.
“Sudahlah, tak usah panjang lebar. Pusing aku mendengar kau bicara soal angka-angka dan istilah-istilah itu. Yang penting buat aku, berapa laba yang kau akan hasilkan? Berapa yang bisa kau setorkan untuk APBN?” kilah Luhut dengan logat Bataknya yang kental, sebagaimana ditirukan si Dirut tadi.
So, apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa Luhut yang memimpin sidang tahunan IMF-Bank Dunia? Mengapa bukan Menko Perekonomian Darmin Nasution? Atau, kenapa bukan Menteri Keuangan Sri Mulyani? Katanya mereka berdua adalah orang hebat?
Buat mereka yang ‘melek’ kondisi Indonesia, keputusan Jokowi tersebut tentu bukan hal biasa. Tapi tidak terlalu sulit memahami peristiwa ini. Telusuri saja pernyataan-pernyataan Presiden sebelum ini terkait perekonomian kita.
Pendek saja jawabnya. Jokowi kecewa! Keduanya dinilai gagal membantu presiden. Ekonomi yang telanjur dijanjikan meroket sejak September tahun lalu tidak kunjung mewujud. Pembangunan infrastruktur untuk memperbaiki kualitas konektivitas yang diharapkan, meleset. Tahun lalu, ekonomi kita hanya tumbuh 5,02%, lebih rendah dibandingkan 5,56% pada 2013. Bahkan, saking pas-pasannya kinerja mereka, target ekonomi yang dipatok tahun ini pun hanya 5,1%. Baru setelah dalam sidang kabinet Presiden ‘marah’, buru-buru target didongkrak jadi 5,7%.
Sejatinya, bisik-bisik di kalangan Istana sudah merebak sejak beberapa bulan silam. Jokowi kecewa berat dengan duet Darmin dan Sri. Paket-paket ekonomi berseri yang diluncurkan Darmin, berhenti di atas kertas. Kalau ‘akan’ sukses, hal itu baru bisa dinikmati dalam jangka panjang.
Dari beragam konten paket ekonomi yang diluncurkan, program revaluasi aset dinilai berhasil mengatrol aset BUMN naik Rp800 triliun lebih. Pajak yang diterima negara dari program ini sekitar Rp32 triliun. Tapi untuk soal ini, Rizal Ramli yang saat itu jadi Menko Maritim adalah sosok penggagasnya. Bukan Darmin.
Ibarat konsumen, Presiden selama ini menjadi korban iklan. Di media mainstream, keduanya –khususnya Sri-- disanjung-sanjung sebagai ekonom jempolan. Itulah sebabnya, sebagai orang korban iklan, Jokowi berharap banyak kepada keduanya untuk membenahi sengkarut perekonomian negeri.
Tapi apa hendak dikata, maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. Maksud hati membuat ekonomi meroket, apa daya malah jadi kuntet. Mau terus begini?
Ngomong-ngomong, saya kok jadi ingin membandingkan penunjukan Luhut sebagai ketua sidang tahunan IMF-Bank Dunia dengan dialog RR-Gus Dur ya? Kalau dulu, Rizal Ramli bisa mengatakan “pilih saya atau Widjojo,” akankah hal serupa bakal diucapkan Darmin dan atau Sri? Ehmm... (*)
Jakarta, 5 Maret 2017