Pembantaian secara brutal para Teroris Medsos kepada mereka yang mengkritisi Ahok, membuat orang berpikir ulang melakukan hal yang sama. Padahal, bisa dipastikan ada banyak orang yang gerah dengan sikap dan kebijakan mantan Bupati Belitung Timur itu. Namun mengingat nasib para pendahulunya yang jadi sasaran pembantaian, mereka pun akhirnya memilih diam.
Dalam jangka panjang, kondisi seperti ini tentu sangat tidak sehat. Ahok dan para pendukungnya seolah-olah melenggang sendiri di dunia maya. Akibatnya, mereka bebas menebar kebohongan dan pencitraan palsu. Celakanya, ulah ini mereka lakukan terus-menerus, lagi dan lagi terus-menerus.
Jadi ingat Adolf Hitler. Diktator yang menyeret Jerman pada kehancuran itu punya mantra, kebohongan yang terus-menerus disuarakan, maka akan (bisa) dianggap sebagai suatu kebenaran. Nah, kebohongan dan pencitraan palsu Ahok yang terus-menerus disuarakan para pendukungnya, kelak bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran oleh publik.
Para Teroris Media Sosial itu sama sekali tidak membuka ruang untuk berbeda. Tidak ada dialog dan dialektika. Bandingkan dengan silang pendapat antara para pendiri bangsa kita. Ketika Soekarno berbeda pendapat dengan Muhammad Natsir, misalnya, mereka ‘bertarung’ di tataran ide dan gagasan. Begitu juga yang dialami para tokoh seperti, Hatta, A Hassan, Agus Salim, dan lainnya.
Negeri ini direbut dan didirikan dengan gagasan dan ide-ide besar. Bukan dengan saling bantai dan mengarah pada caracter assasination.Saya membayangkan bila Agus Salim masih hidup dan ikut mengkritisi Ahok. Maka sangat mungkin para Teroris Media Sosial yang jadi pendukungnya akan membantai Agus Salim dengan sebutan pendek, kecil, kuntet, jenggot kambing, bau menyan, dan yang sejenisnya.
Saya pun hampir pasti tidak akan lolos dari pembantaian para Teroris Medsos itu karena menulis artikel ini. Tidak percaya? Tunggu saja sebentar lagi, deh.
Sebagaimana galibnya para teroris, tentu ada ketuanya. Kita biasa menyebutnya gembong teroris. Siapakah gembong Teroris Media Sosial itu? Ya pasti juragannya lah... (*)
Jakarta, 8 September 2016
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H