Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Blok Masela, dari Paradigma Neolib ke Konstitusi

16 Mei 2016   15:24 Diperbarui: 16 Mei 2016   18:04 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Alhamdulillah. Rakyat Indonesia patut bersyukur, karena Presiden Joko Widodo akhirnya memutuskan pengembangan ladang gas abadi Blok Masela dilakukan dengan skenario mengalirkan gas dan membangun kilang LNG di darat (onshore). Dengan keputusan ini, tekad Jokowi untuk melaksanakan konstitusi dengan sebenar-benarnya, khususnya pemanfaatan sumber daya alam (SDA) bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, dapat diwujudkan.

Perdebatan panjang dan melelahkan seputar pembangunan kilang onshore versus offshore, sejatinya bukan sekadar perdebatan masalah teknis dan besaran biaya, ini adalah pertarungan paradigma ekonomi konstitusi melawan neolib. Pihak pertama adalah suatu mazhab yang menghendaki kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat banyak. Sebaliknya pada kelompok kedua, cenderung meyerahkan segala sesuatunya kepada mekanisme pasar.

Hukum besi neolib adalah si kuat melindas yang lemah. Yang besar memakan yang kecil. Kalau rakyat kebanyakan tersingkir dari pertarungan, itu adalah risiko yang harus ditelan. Biarkan pasar yang berbicara dan pada akhirnya menemukan ekuilibriumnya. Sayangnya, pada praktiknya, yang terjadi adalah eksploitasi pemilik modal atas sumber daya alam dan sumber daya manusia sebagai alat produksi.

Jika saja Presiden memutuskan pembangunan kilang apung alias floating di laut (offshore), maka rezim ini kembali mengulang kesalahan para  pendahulunya. Pasalnya, selama ini pemanfaatan SDA hanya dijadikan sumber penerimaan devisa. Pada pengembangan gas bumi, misalnya, hanya fokus untuk proyek liquid natural gas (LNG) agar ekspor maksimal dan menghasilkan return yang tinggi bagi kontraktor. Semangat inilah yang dengan gigih diusung Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman  Said dan konco-konconya.

Syukurlah, Jokowi tidak demikian. Dalam arahan-arahannya pada rapat kabinet yang membahas soal Blok Masela, dia bertekad ingin melakukan perubahan  paradigma  dari  revenue  basismenuju SDA  sebagai modal  pengembangan  ekonomi  wilayah.

Keputusan penting Presiden itu tidak lepas dari upaya Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli yang secara konsisten terus-menerus menyerukan pentingnya mengalirkan gas  dan membangun kilang LNG di darat untuk mengembangkan blok Masela. Untuk itu, dia juga harus berhadapan dengan geng neolib yang menggunakan dana nyaris tak terbatas dan jaringan mereka yang luas untuk menjungkalkannya dari kabinet.

Memprihatinkan

Sayang sekali, kendati Presiden telah memutuskan pembangunan kilang di darat, Sudirman Said tidak kunjung mampu menangkap ruh dari keputusan itu. Dia hanya menerjemahkan keputusan tersebut sebagai sekedar  memindahkan  Kilang  LNG  dari  laut ke darat.  Suratnya kepada Kepala Satuan  Kerja  Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) nomor 2754/13/MEM.M/2016, tentang pengembangan lapangan abadi wilayah kerja Masela, jelas menyiratkan hal itu.

Tentu saja hal ini sangat memprihatinkan. Bayangkan, menteri yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan energi dan sumber daya mineral, justru tidak mampu menangkap pesan penting Presiden. Seharusnya, keputusan Presiden itu diterjemahkan sebagai perubahan  paradigma  pengelolaan SDA. Dari sebelumnya SDA sebagai sumber penerimaan negara dengan prinsip tebang, keruk, sedot, dan Jual  menjadi  SDA sebagai penggerak ekonomi  kawasan dan pengembangan wilayah (integrated developement).

Perubahan paradigma inilah yang menjelaskan, mengapa kesejahteraan rakyat negara-negara seperti Korsel, Malaysia, bahkan China bisa menyalip Indonesia. Padahal, pada 1960-an, pendapatan per kapita rakyat mereka relatif sama, yaitu sekitar US$100. China saat itu bahkan cuma US$50. Kini, setelah lima puluh tahun kemudian, pendapatan per kapita negara-negara itu sudah jauh melampaui Indonesia.

Singapura, misalnya, sudah mencapai US$55,182 dengan Human Development Index (HDI) sangat tinggi. Begitu juga dengan Malaysia yang U$11.062 (HDI tinggi) dan Thailand yang US$5.675 (HDI Tinggi). Sedangkan China, saat ini sudah menyentuh US$6.100. Bahkan pendapatan per kapita Vietnam sudah menyusul Indonesia dan bertengger di US$4.000 (HDI menengah). Indonesia sendiri sampai kini pendapatan per kapitanya ‘hanya’ US$3.700 (HDI menengah).

Bukan sekadar pindah kilang

Adalah Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli yang getol mengusulkan dan memperjuangkan agar pengembangan lapangan gas Blok Abadi Masela dengan skenario kilang darat. Namun bagi Rizal Ramli, perkara ini bukan sekadar memindahkan (rencana) kilang di laut ke darat, melainkan, ya itu tadi, soal perubahan paradigma dalam pengelolaan SDA.

Dengan perubahan paradigma ini, maka gas tidak lagi hanya diubah menjadi LNG untuk kemudian diekspor. Gas juga dibutuhkan untuk energi dan bahan baku industri petrokimia. Dengan paradigma seperti ini, gas bisa dimanfaatkan untuk membangun industri-industri petrokimia dan turunannnya dan anke industri lokal yang akan membuka kesempatan lapangan kerja, perolehan dan atau penghematan devisa, tumbuh dan berkembangnya pengusaha nasional serta industri tersier.

Bagaimana hal ini bisa diwujudkan? Gas Masela selanjutnya bisa dioleh menjadi compressed natural gas (CNG) untuk disalurkan ke pulau-pulau di Wilayah Maluku. CNG inilah yang dimanfaatkan untuk pemenuhan pembangkit listrik, industri lokal, dan lainnya. Gas tersebut juga yang akan menjadi bahan baku industri petrokimia. Itulah sebabnya bakal terjadi penyerapan lapangan kerja selama proyek dan lapangan kerja di kilang, dan industri-industri lain yang dibangun.

Belum lagi multiplier effect lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang bakal terjadi. Misalnya, berdirinya warung-warung makan untuk para pekerja proyek dan karyawan pabrik, pengemudi mobil dan ojek, rumah-rumah kontrakan/kos, dan lainnya.

Menghasilkan US$8 miliar/tahun

Dari sisi penerimaan, perubahan paradigma itu juga memberi banyak nilai tambah. Ekspor gas saat ini harganya sekitar US$300/ton. Sebaliknya, jika diolah menjadi LNG harganya naik menjadi US$550/ton. Angkanya akan lebih baik lagi setelah menjadi ammonia US$750/ton, GTL US$1.000/ton, propylene dan ethylene masing-masing US$1.500, dan polymer US$1.800/ton.

Jika gas produksi lapangan Abadi Blok  Masela  hanya diekspor, negara akan memperoleh pendapatan sekitar US$2,52 miliar/tahun. Sedangkan jika dilakukan hilirisasi, maka angkanya bisa melonjak menjadi US$6,5 miliar/tahun. Ini penerimaan secara langsung. Bila ditambah dengan berbagai multiplier effect yang tidak langsung, jumlahnya bisa menembus US$8 milar/tahun.

Hilirisasi gas menjadi aneka produk petrokimia ini benar-benar berdampak dahsyat. Selain nilai tambah miliaran dolar per tahun, ia juga bisa menghemat devsa. Tahukah anda, bahwa tiap tahun nilai impor berbagai produk petrokimia kita mencapai sekitar Rp100 triliun. Mereka datang dalam aneka wujud dan bentuk. Antara lain bahan baku pakaian, sepatu, topi, aneka kemasan makanan dan barang jadi lain, dan bermacam benda yang ada pada rumah; jendela, pintu, dinding, lantai, atap, dan lainnya. Bahkan, pada sebuah mobil tidak kurang dari 40% di antaranya adalah aneka produk petrokimia.

Dengan fakta seperti ini, terjawab sudah faktor utama yang mendorong banyak negara menjadi maju dan rakyatnya sejahtera. Malaysia, misalnya, di kawasan Kertih dengan investasi sekitar US$32 miliar telah mampu menciptakan 150.000 tenaga kerja dengan nilai tambah yang luar biasa. Padahal, sebagian gasnya dipasok dari Natuna. Ironisnya, produk petrokimia mereka sebagian diekspor ke Indonesia.Begitu juga dengan Taiwan, industri petrokimianya memberi kontribusi 29% penerimaan negara dengan nilai US$446 miliar/tahun.

Tulisan ini akan menjadi daftar panjang yang membuat miris, manakala data menunjukkan sembilan dari 50 perusahaan petrokimia terbesar dunia, bahan baku gasnya ternyata dipasok dari Indonesia. Pada saat yang sama, Indonesia yang selama ini memproduksi dan mengekspor gas, hanya bisa menjadi penonton dan pengimpor.

Semoga kondisi seperti ini segera berakhir, seiring dengan dialirkannya gas bumi ke darat dan beroperasinya kilang darat blok Masela serta terbangunnya berbagai industri petrokimia dan berbagai industri lokal di Wilayah Maluku dan sekitarnya. Semoga, mulai dari sini pengelolaan SDA akan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan konstitusi.

Jakarta, 16 Mei 2016

*Haposan Napitupulu, Praktisi Migas dan Mantan Deputi Perencanaan Bpmigas

**Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democrac Studies (CEDeS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun