Bukan sekadar pindah kilang
Adalah Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli yang getol mengusulkan dan memperjuangkan agar pengembangan lapangan gas Blok Abadi Masela dengan skenario kilang darat. Namun bagi Rizal Ramli, perkara ini bukan sekadar memindahkan (rencana) kilang di laut ke darat, melainkan, ya itu tadi, soal perubahan paradigma dalam pengelolaan SDA.
Dengan perubahan paradigma ini, maka gas tidak lagi hanya diubah menjadi LNG untuk kemudian diekspor. Gas juga dibutuhkan untuk energi dan bahan baku industri petrokimia. Dengan paradigma seperti ini, gas bisa dimanfaatkan untuk membangun industri-industri petrokimia dan turunannnya dan anke industri lokal yang akan membuka kesempatan lapangan kerja, perolehan dan atau penghematan devisa, tumbuh dan berkembangnya pengusaha nasional serta industri tersier.
Bagaimana hal ini bisa diwujudkan? Gas Masela selanjutnya bisa dioleh menjadi compressed natural gas (CNG) untuk disalurkan ke pulau-pulau di Wilayah Maluku. CNG inilah yang dimanfaatkan untuk pemenuhan pembangkit listrik, industri lokal, dan lainnya. Gas tersebut juga yang akan menjadi bahan baku industri petrokimia. Itulah sebabnya bakal terjadi penyerapan lapangan kerja selama proyek dan lapangan kerja di kilang, dan industri-industri lain yang dibangun.
Belum lagi multiplier effect lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang bakal terjadi. Misalnya, berdirinya warung-warung makan untuk para pekerja proyek dan karyawan pabrik, pengemudi mobil dan ojek, rumah-rumah kontrakan/kos, dan lainnya.
Menghasilkan US$8 miliar/tahun
Dari sisi penerimaan, perubahan paradigma itu juga memberi banyak nilai tambah. Ekspor gas saat ini harganya sekitar US$300/ton. Sebaliknya, jika diolah menjadi LNG harganya naik menjadi US$550/ton. Angkanya akan lebih baik lagi setelah menjadi ammonia US$750/ton, GTL US$1.000/ton, propylene dan ethylene masing-masing US$1.500, dan polymer US$1.800/ton.
Jika gas produksi lapangan Abadi Blok  Masela  hanya diekspor, negara akan memperoleh pendapatan sekitar US$2,52 miliar/tahun. Sedangkan jika dilakukan hilirisasi, maka angkanya bisa melonjak menjadi US$6,5 miliar/tahun. Ini penerimaan secara langsung. Bila ditambah dengan berbagai multiplier effect yang tidak langsung, jumlahnya bisa menembus US$8 milar/tahun.
Hilirisasi gas menjadi aneka produk petrokimia ini benar-benar berdampak dahsyat. Selain nilai tambah miliaran dolar per tahun, ia juga bisa menghemat devsa. Tahukah anda, bahwa tiap tahun nilai impor berbagai produk petrokimia kita mencapai sekitar Rp100 triliun. Mereka datang dalam aneka wujud dan bentuk. Antara lain bahan baku pakaian, sepatu, topi, aneka kemasan makanan dan barang jadi lain, dan bermacam benda yang ada pada rumah; jendela, pintu, dinding, lantai, atap, dan lainnya. Bahkan, pada sebuah mobil tidak kurang dari 40% di antaranya adalah aneka produk petrokimia.
Dengan fakta seperti ini, terjawab sudah faktor utama yang mendorong banyak negara menjadi maju dan rakyatnya sejahtera. Malaysia, misalnya, di kawasan Kertih dengan investasi sekitar US$32 miliar telah mampu menciptakan 150.000 tenaga kerja dengan nilai tambah yang luar biasa. Padahal, sebagian gasnya dipasok dari Natuna. Ironisnya, produk petrokimia mereka sebagian diekspor ke Indonesia.Begitu juga dengan Taiwan, industri petrokimianya memberi kontribusi 29% penerimaan negara dengan nilai US$446 miliar/tahun.
Tulisan ini akan menjadi daftar panjang yang membuat miris, manakala data menunjukkan sembilan dari 50 perusahaan petrokimia terbesar dunia, bahan baku gasnya ternyata dipasok dari Indonesia. Pada saat yang sama, Indonesia yang selama ini memproduksi dan mengekspor gas, hanya bisa menjadi penonton dan pengimpor.