Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Money

Blok Masela, Antara Bemo dan Bus Trans Jakarta

11 Maret 2016   14:42 Diperbarui: 18 Maret 2016   14:59 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Begini penjelasannya. Pertama, kata Haposan, para pengritiknya adalah orang-orang yang tidak paham proses persetujuan POD. Sayangnya, mereka justru berlagak paling mengerti sehingga merasa berhak menyemburkan cemooh sekaligus stigma.

Sejalan dengan Peraturan Tata Kelola (PTK) POD, disebutkan POD  yang telah disetujui harus direvisi jika terjadi tiga perubahan. Pertama,  volume besaran cadangannya berubah (membesar atau mengecil). Kedua, terjadi perubahan rencana besaran biaya pengembangan. Ketiga, ada perubahan atas skenario pengembangan.  Satu saja dari tiga perubahan itu terjadi, maka POD harus direvisi.

Pada konteks Masela, temuan awal cadangan gas di sana adalah 6-7 trillion cubic feet (tcf). Hasil kajian juga memutuskan memilih membangun kilang offshore. Dengan mengalirkan ke pulau Aru yang berjarak sekitar 600 km. Maklum, saat itu pulau Aru dianggap paling memungkinkan. Memang ada pulau yang lebih dekat, yaitu pulau Selaru. Namun studi saat itu menyebutkan ada palung yang dalam sehingga tidak mungkin dilalui pipa bawah laut. Belakangan terbukti kemiringan palung itu ternyata hanya 2-3 derajat.

Alasan berikutnya, dengan cadangan 6-7 tcf, Blok Masela hanya bisa memproduksi gas sebanyak 2,5 mtpa. Itulah sebabnya, pengembangan dengan membangun kilang apung di laut lebih feasible dari pada dibawa ke darat.

Sebagai pejabat yang berwenang di SKK Migas, Haposan menyetujui usulan sekanrio POD kilang laut pada 2010. Asal tahu saja, POD pertama diajukan pada 2008. Namun sekitar tujuh tahun kemudian, Inpex selaku operator mengajukan POD kedua, pada Oktober 2015. Kali ini disebutkan cadangan yang semula ‘hanya’ 6-7 tcf, ternyata membengkak jadi 28 tcf dengan kapasitas produksi 7,5 mtpa. Artinya, melonjak sekitar 300%.

Nah, berbekal temuan dan data terbaru itulah Haposan kemudian berubah sikap. Sebelumnya dia setuju kilang apung, kini berbalik mendukung pembangunan kilang darat. Pada titik ini, kita bisa kembali pada tamsil kisah Badu dengan bemonya. Dulu, waktu jadi supir bemo, Badu menyusuri rute Benhil-Tanah Abang. Kini, dengan bus Trans Jakarta, rutenya jadi jauh lebih panjang, Kota-Blok M. Alasannya, dulu bodi dan kapasitas bemo kecil dan sedikit. Sedangkan wujud bus Trans Jakarta jauh lebih besar dan trayeknya jauh lebih panjang.  

Pada konteks ini, saya ingin bertanya kepada JK, Sudirman Said dan kawaan-kawannya, mengapa mengapa kalian tetap ngotot menghendaki kilang apung? Bukankah data dan fakta Masela berkembang seperti sekarang, yaitu cadangan naik dari 6-7 tcf menjadi 28 tcf dan kapasitas produksi membengkak dari 2,5 mtpa ke 7,5 juta mtpa? Tidakkah kalian bisa berpikir lebih jernih sebagaimana yang telah Haposan lakukan dengan berbalik badan?

Bukankah hitung-hitungan teknis yang kalian sodorkan, bahwa kilang apung lebih murah dibandingkan kilang darat, itu seluruhnya bersumber dari Inpex dan Shell? Mengapa kalian menelan mentah-mentah data pihak asing, yang pasti sarat dengan muatan kepentingan mereka? Bukankah mereka sengaja membesar-besarkan (mark up) biaya kilang darat dan mengecil-kecilkan kilang laut? Sebagai pihak luar, bagaimana mungkin orang asing akan berjibaku untuk mensejahterakan bangsa dan rakyat Indonesia? Tidakkah semua kalkulasi ini masuk dalam nalar dan nurani kalian?

Saya tahu, bahwa latar belakang pendidikan dan pengalaman JK-SS sama sekali bukan jauh dari jangkauan soal-soal teknis permigasan. Namun, dengan berprasangka baik, saya ingin menyampaikan penjelasan Haposan terkait temuan data dan fakta yang berujung pada perubahan sikapnya.

Begini. Dengan temuan cadangan gas Masela yang sekitar 28 tcf, seharusnya gas Masela tidak sekadar dijadikan produk LNG. Pasalnya, untuk mengubah gas menjadi LNG diperlukan tambahan biaya sekitar US$2-3/mmbtu. Saat LNG akan dimanfaatkan, harus diubah kembali menjadi gas dengan biaya yang juga US$2-3/mmbtu. Artinya, proses dari gas ke LNG dan kembali ke gas memberi tambahan biaya sekitar US$4-6/mmbtu.

Dengan fakta tersebut, akal sehat dan nurani yang bersih seharusnya berpikir bagaimana caranya gas Masela bisa memberi nilai tambah bagi penduduk negeri ini. Kalau kilang dibangun di laut, maka gas dari Masela hanya diangkut ke luar negeri dalam bentuk LNG. Dari sini Pemerintah akan menerima sekitar US$2,5 miliar/tahun. Sementara itu penduduk Maluku dan sekitarnya cuma jadi penonton sambil gigit jari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun