[caption caption="Sumber: Kompas Cetak"]Sumber: Kompas Cetak[/caption]“Rizal Ramli: Ada Kereta di Pelabuhan Priok, Dwell Time Bisa Kurang 2 Hari.” Begitu judul satu media online pada Kamis (18/02) siang. Berita itu berisi optimisme Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli usai meninjau perkembangan upaya penurunan waktu bongkar muat alias dwelling time yang digeber sejak Sepetember 2015. Siang itu dia meninjau kesiapan pengoperasian kereta api masuk ke palabuhan untuk loading and unloading barang.
Sebelumnya lelaki yang dikenal banyak memiliki gagasan dan kebijakan terobosan tersebut mendapat tugas khusus dari Presiden Joko Widodo untuk memangkas dwelling time dari sekitar 6-7 hari menjadi 4 hari.
Sejak mendapat mandat dari Jokowi, Rizal Ramli memang langsung bergerak. Dia mengumpulkan para pemangku kepentingan (stakeholders) pelabuhan. Mereka antara lain PT Pelindo II (Persero), PT Kereta Api Indonesia (Persero), Ditjen Bea dan Cukai, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Badan Karantina, dan TNI Angkatan Laut.
Setelah mempelajari permasalahannya, rakor menghasilkan tujuh langkah untuk memangkas waktu bongkar muat di pelabuhan. Pertama, memperbanyak jalur hijau bagi barang-barang ekspor-impor yang memenuhi persyaratan tertentu. Kedua, meningkatkan biaya denda bagi (pemilik) kontainer yang telah melewati masa simpan di pelabuhan. Ketiga, membangun jalur kereta api sampai ke lokasi loading dan uploading peti kemas. Keempat, meningkatkan sistem teknologi informasi dalam pengelolaan terminal peti kemas.
Langkah kelima, menambah kapasitas crane (derek). Keenam, penyederhaan peraturan dan perizinan yang berlaku di pelabuhan yang saat itu lebih dari 124 perizinan. Ketujuh, memberantas mafia yang selama ini bermain di pelabuhan. Mereka inilah yang secara langsung ataupun tidak langsung telah membuat Tanjung Priok menjadi pelabuhan yang lamban, tidak efisien, dan berbiaya tinggi," ungkapnya.
Sempat diganjal
Kerja keras Rizal Ramli dan tim untuk menekan dwelling time ternyata tidak semulus yang diharapkan. Sampai awal November 2015, angka penurunannya belum signifikan, yaitu baru menjadi 4 hingga 4,5 hari. Tentu saja, angka ini masih jauh dari yang diharapkan Jokowi.
Namun upaya tancap gas ini terganjal kedegilan manajemen PT Pelindo II (Persero), khususnya dari direktur utamanya, RJ Lino. Lino tidak mau mematuhi perintah Rizal Ramli yang memintanya menaikkan tarif denda penyimpanan kontainer yang telah lewat tiga hari, dari Rp 27.500/hari menjadi Rp 5 juta/hari. Entah apa alasannya dia mbalelo. Namun bisik-bisik di lapangan menyebutkan dia punya bisnis trucking yang pasti bakal menggelepar jika kereta api beroperasi masuk pelabuhan.
Dengan tarif menyimpan kontainer semurah itu, banyak pengusaha yang lebih suka memarkir barangnya di pelabuhan ketimbang membayar sewa gudang di luar pelabuhan yang jauh lebih mahal. Jika saja Lino mau menaikkan tarif sewa seperti yang diminta Menko Maritim dan Sumber Daya, dipastikan wusss... tumpukan kontainer itu akan ‘berterbangan’ meninggalkan area pelabuhan. Siapa pula yang mau membayar sewa Rp 5 juta/hari untuk kontainer 20 feet. Iya, kan?
Tudingan Lino jadi biang kerok lambatnya pemangkasan dwelling time ternyata bukan isapan jempol. Buktinya, setelah dia menjadi tersangka korupsi pengadaan quay container crane (QCC), manajamen Pelindo II pun segera menerapkan denda tersebut. Hasilnya, angka dwelling time berhasil ditekan secara signifikan.
Prestasi ini ternyata belum terbilang puncak. Pasalnya, Rizal Ramli bahkan berani memasang target lebih berani lagi.