Noorsy punya catatan lumayan komplet yang dibagikannya kepada publik, tentang sepak terjang Dede yang sangat setia dan gigih pada rezim neolib. Cerita itu antara lain, saat MK membatalkan UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan pada 15 Desember 2004. Pembatalan UU itu membuat pemerintah RI merasa kredibilitasnya terganggu di mata investor asing dan negara-negara OECD.
Pemerintah tidak ingin hal serupa terjadi pada UU No. 22/2001 tentang Migas yang juga tengah dimohonkan pembatalannya di MK. Untuk itu, pemerintah mengutus Rizal Malarangeng, Moh Ikhsan, dan Chatib melobi Ketua MK Jimly Assidqie agar UU Migas tidak bernasib sama. Gerilya itu dengan benderang, menunjukkan betapa Dede dan rekan-rekannya sangat berpihak pada liberalisasi perekonomian.Â
Dia juga diketahui sangat gigih saat menjadi saksi ahli pemerintah pada sidang gugatan pembatalan UU Penanaman Modal. Â Bersama Faisal Basri dan Umar Juoro, dia berargumen, bahwa perbaikan UU Penanaman Modal dibutuhkan karena ditujukan untuk membuka lapangan kerja.Â
Sebaliknya Noorsy yang menjadi saksi ahli penggugat, menyodorkan data Kementerian Koperasi dan UMKM, bahwa pada 2005-2007 UMKM menyerap lapangan kerja hingga 97,2% dengan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi sebesar 54-56%.Â
Kepada Pansus Bank Century, Chatib dengan tegas membela kebijakan yang terindikasi memenuhi unsur pidana itu. Dia hanya mengakui skandal Century adalah bukti lemahnya pengawasan perbankan.
Lobi-lobi asing
Catatan penting yang perlu dikedepankan di sini adalah, ditunjuknya Dede sebagai Menkeu bukan karena dia memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai Menkeu. Ini adalah hasil lobi politik tingkat tinggi, yang melibatkan IMF, WB, ADB, dan MNC agar tetap ada pemegang estafet Mafia Berkeley di pusat kekuasaan. Ironisnya, langkah itu jadi kian mudah karena peran antek lokal yang membukakan pintu gerbang benteng nasionalisme dan kedauluatan ekonomi. Mereka ini dikomandani Wapres (waktu itu) Boediono dan para begundalnya, antara lain Sri Mulyani.
Dalam posisinya sebagai Menkeu, Dede harus melaksanakan beberapa agenda wajib neoliberalisme. Pertama, penghapusan subsidi, menjadi zero subsidi. Kedua, menjaga liberalisasi sektor keuangan dan pasar dengan meminimalkan prokteksi barang dan jasa impor. Dampak liberalisasi ini dahsyat. Tidak ada lagi ketahanan pangan dan barang produk dalam negeri.
Ketiga, menjual (dikemas dengan frase privatisasi) BUMN demi alasan efisiensi dan efektivitas. Keempat, mencari utangan, baik di dalam maupun luar negeri sebesar-besarnya dengan dalih untuk menutup defisit APBN.
Begitulah potret anak negeri bernama Chatib Basri. Akankah Jokowi memasukkan anak muda yang menjadi jongos para majikan asingnya itu ke kabinet hasil reshuffle  kelak? Kalau kekhawatiran ini terbukti, maka apa bedanya Jokowi dengan para antek tadi? Bukankah sebagai Presiden, dia seharusnya bekerja dengan sungguh-sungguh untuk mensejahterakan rakyat negeri bernama Indonesia? Negeri tempat dia diberi amanat sebagai Presiden. Negeri yang menjadi tanah air tumpah dan darahnya sendiri. (*)
Â