Petot menutup bc-nya dengan pertanyaan, “Lalu apakah patut kita menggantung harap ke seorang Rizal Ramli…???=;(“
Kehati-hatian Petot yang ditunjukkan dengan ketidkpercayaan terhadap ‘kandidat’ yang bakal diplot pascareshuffledapat dipahami. Seperti juga mereka yang paham keadaan, jebloknya performa tim ekonomi besutan JK tidak saja membuahkan kekecewaan, tapi juga sekaligus trauma. Jangan-jangan rezim ini kembali salah pasang orang.
Bagaimana dengan Rizal Ramli? Apakah dia pun layak disangsikan? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya bila kita telusuri rekam jejak pendiri ECONIT Advisory ini. Di era dia menjadi Menko Perekonomian, justru untuk pertama kalinya bangsa ini bisa menyusun sendiri butir-butirletter of intent (LoI).
Rizal Ramli paham betul, banyak materi yang dicantumkan dalam draft LoI usulan IMF merupakan titipan pihak lain di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Soal keberadaanhypermarket, misalnya, IMF minta tidak dibatasi lokasinya di Indonesia. Boleh berdiri di mana saja. Tentu saja dia menentang usulan seperti itu karena tidak masuk akal. Di Amerika Serikat dan Eropa saja,hypermarkethanya boleh beroperasi di pinggiran kota. Masak di Indonesia boleh berdiri di mana saja tanpa batasan sama sekali. Usulan yang berbau titipan itu akhirnya didrop, tetapi sayangnya disetujui kembali oleh pemerintahan berikutnya.
Ada juga permintaan IMF untuk mengaudit TNI. Pada prinsipnya RR setuju TNI harus diaudit. Dengan demikian ada transparansi dan akuntabilitas lembaga ini terhadap publik. Namun dia tidak setuju bila audit itu dilakukan IMF atau lembaga asing yang ditunjuk. Sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap pertahanan negara, pemerintah Indonesia berhak melindungi rahasia, harkat dan martabat TNI.
Keruan saja Rizal Ramli curiga ada kepentingan asing di sini. Setelah didesak, tim IMF yang datang ke indonesia mengaku bahwa permintaan audit TNI itu merupakan titipan Pentagon, markas Departemen Pertahanan Amerika Serikat.
Walhasil, dari sekitar 140-an prakondisi yang diajukan IMF untuk masuk ke dalam LoI, akhirnya tinggal sekitar 60 butir saja yang tersisa. 80 butir lainnya, masuk ke keranjang sampah!
Padahal, yang sudah-sudah,draftLoI itu bisa dikatakan sepenuhnya didikte IMF. Saat Rizal Ramli itulah kondisinya dibalik. Tim ekonomi Indonesia yang dikomandaninya berhasil mendikte IMF, termasuk menggolkan 10 Program Percepatan Pemulihan Ekonomi sebagai bagian dari LoI. Dan yang lebih penting lagi ini, harkat dan martabat Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat tidak lagi diinjak-injak pihak asing.
So, kalau Petot atau siapa pun bertanya,apakah patut kita menggantung harap ke seorang Rizal Ramli? Biarlah catatan sejarah yang menjawab. ‘Kelemahan’ tokoh nasional yang menjadi anggota Panel Ahli Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) ini adalah, dia tidak pandai memajang prestasinya saat di lingkar kekuasaan. Itulah sebabnya rekam jejak semacam tadi relatif tidak banyak diketahui publik.
Jangankan kalangan grass root, kelompok menengah-atas pun, tidak banyak yang mengetahui kinerja kinclong itu. Prinsip sepi ing pamrih rame ing gawe alias lebih suka bekerja tanpa proklamasi ini-itu, membuat para aktivis pun bisa salah paham. “Apa saja yang dilakukan Rizal Ramli ketika menjadi pejabat?” adalah pertanyaan yang paling sering disorongkan banyak pihak, termasuk sebagian anak muda yang merasa menjadi aktivis.
Bandingkan dengan ulah para pejabat yang getol memoles diri untuk publisitas, sehingga seolah-olah mereka sudah berbuat yang berarti untuk negeri. Mereka bahkan tiak segan-segan menggelontorkan duit sangata banyak untuk membayar space di media cetak dan durasi di media elektronik untuk kepentingan seperti ini. Seringkali kita juga jadi sebal bahkan mual karena dijejali poster, spanduk, dan baliho supergede menyita ruang-ruang publik. Padahal, sejatinya semua itu cuma pencitraan kosong melompong. (*)