1. BPKP sudah memperoleh dasar hukum tersendiri yang spesifik tidak lagi “generik” seperti ketika diatur dalam Keppres No 103 tahun 2001. Tugas BPKP sesuai pasal 2 Perppres No 192 tahun 2014 : menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/ daerah dan pembangunan nasional. Sedangkan tugas BPKP sebelumnya sesuai pasal 52 Keppres No 103 tahun 2001: melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku” sebagaimana disebut dalam pasal 52 Keppres No 103 tahun 2001 merupakan pembatasan tugas pengawasan BPKP, sehingga dalam Perpres No 192 tahun 2014 pembatasan dengan menggunakan frasa tersebut tidak lagi dilakukan.
3. Fungsi pengawasan BPKP sebelumnya dibuat generik dengan fungsi masing-masing LPND/LPNK lainnya, sekarang sudah kembali dibuat spesifik sesuai dengan fungsi pengawasan.
4. BPKP saat ini sudah nyata berada langsung di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden, sehingga kedudukannya saat ini berada dalam lingkaran istana Kepresidenan. Tidak lagi berada dalam koordinasi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Walaupun BPKP terus berupaya melaksanakan tugasnya dengan baik, namun ada persoalan yang masih perlu mendapat perhatian Presiden agar BPKP dapat fokus melakukan pencegahan korupsi :
I Kedudukan BPKP
Kedudukan BPKP dibawah dan bertanggungjawab kepada Presiden sudah tepat dan sejalan dengan sistem presidensial yang dianut dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia bahkan lebih tepat bilamana kedudukan BPKP setingkat Menteri tidak dalam koordinasi Menteri. Moment yang tepat, bila Presiden dengan hak prerogatifnya membentuk Menteri Pengawasan/Kepala BPKP.
Dalam sistem tersebut, Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan secara nyata memiliki kekuasaan administratif berupa pengawasan. Pengawasan Presiden ini mutlak diperlukan sebagai konsekuensi penerapan azas desentralisasi dan otonomi daerah yang tentunya tidak tepat didelegasikan kepada Menteri yang ada saat ini.
Pendelegasian urusan pengawasan tersebut kepada Menteri berpotensi konflik kepentingan dengan urusan tertentu lainnya yang didelegasikan juga kepada Menteri yang bersangkutan. Hasil pengawasan yang diperoleh Presiden tentunya tidak akan obyektif jika diperoleh dari Menteri yang dalam kedudukan tidak independen karena adanya konflik kepentingan dengan urusan tertentu lainnya yang harus juga dipertanggungjawabkan kepada Presiden.
Sebenarnya struktur pengawasan intern pemerintah (internal audit) yang ada saat ini sudah memadai karena sejalan dengan teori dan best practice dari three lines of defence yang diterapkan dalam kalangan Institute of Internal Auditor (IIA). Selain BPKP sebagai unit internal audit dalam lingkup pemerintahan secara nasional, terdapat unit internal audit lainnya pada lingkup Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Struktur ini dibangun sebagai mitigasi risiko untuk memperkuat upaya pencegahan sebagai inti peran APIP.
Walaupun kedudukan BPKP sebagai aparat pengawasan intern pemerintah sudah jelas di atur dalam Perpres No 192 tahun 2014 tentang BPKP tersebut diatas, namun masih berpotensi menghadapi persoalan untuk mewujudkan tanggungjawabnya kepada Presiden termasuk untuk fokus melakukan pencegahan korupsi sebagaimana diharapkan Presiden.