Sejak pertemuan itu, kita sering sekali bertemu. Kadang kita berpapasan di jalanan sambil menyetir sepeda motor. Kadang kita bertemu saat ada acara di lapangan kecamatan. Kadang di toko, di pasar, atau di acara-acara tertentu. Tapi, sama saja. Kita tak saling sapa, kecuali hanya saling beradu pandang, kemudian bertukar senyum, lalu kita berlalu.
Aku juga yakin, kamu masih ingat saat kita bertemu di acara sekolah, bukan reuni, tapi acara pentas seni sekolah. Aku sengaja hadir ke acara pentas seni sekolah yang sudah kutinggalkan lima tahun lalu itu. Pikirku, barangkali ada kawan-kawan seangkatanku yang hadir juga pada acara itu sehingga aku bisa bertukar cerita.
Saat aku turun dari sepeda motor, tanpa sengaja, mata kita kembali saling beradu. Kita bertahan dengan sorot pandang yang tentu kita sudah saling memahami, kemudian kita berbagi senyum seperti biasa, sebelum akhirnya lelaki itu menarik lengan kananmu dan membawamu pergi menjauh dari hadapanku. Ingin sekali aku juga memegang dan menahan lengan kirimu. Tapi tak mungkin, aku bukan siapa-siapa kamu lagi. Kamu tahu, malam itu juga seorang kawan membisikiku kalau lelaki itu suamimu. Sekarang kamu sedang mengandung janin lelaki itu.
Kenapa tidak kamu kenalkan lelaki itu kepadaku? Barangkali kita bisa berbagi pandang dan senyum lebih lama dengan izin darinya. Ah, tentu itu tidak mungkin. Itu khayalanku yang sangat mustahil. Mana ada lelaki yang rela perempuannya berbagi pandang dan senyum dengan lelaki lain. Tidak mungkin.
Belum genap tiga bulan yang lalu, tepat pada malam yang temaram. Persis pada suasana seperti malam itu juga kita pernah memadu rasa meski harus kandas karena ruang dan waktu, aku mendapatkan telepon dari nomor yang tak tersimpan di kontak ponselku, tanpa nama atau pengenal.
Sebenarnya, malam itu aku enggan untuk mengangkat telepon karena aku sedang membuat syair indah tentang dirimu. Tapi entah kenapa, pada panggilan yang ketiga kalinya, aku tak tega untuk menelantarkannya. Aku angkat telepon itu, seketika itu juga aku sadar kalau suara di seberang itu adalah suaramu, perempuan pemilik pandang dan senyum yang mengagumkanku.
Dari seberang, kamu memesan ruang kafe yang sedang aku bangun tujuh bulan yang lalu. Kamu bilang kalau kamu akan presentasi produk baru kepada para pelangganmu. Kamu tahu, tentu aku tak mungkin menolak permintaanmu, meski itu berupa permintaan perpisahan seperti yang kamu lakukan dulu kepadaku.
Hari itu, kamu benar-benar datang dan disusul beberapa
rombongan, mungkin itu yang kamu sebut pelanggan-pelanggan produkmu. Kamu tanya pada karyawanku, aku sedang di mana. Karyawanku menjawab kalau aku sedang ada urusan. Itu benar. Memang jawaban seperti itu yang aku perintahkan kepada karyawanku bila kamu bertanya di mana aku.
Kata karyawanku, kamu terlihat kecewa. Sungguh, maafkan aku. Aku tidak meninggalkanmu. Aku berada di seberang jalan sedang duduk-duduk dengan es jeruk kesukaanmu. Aku mengamatimu yang sedang berbicara di hadapan para pelangganmu itu. Sungguh aku senang karena bisa menatapmu lama-lama meski dari jauh.
Aku sangat memperhatikan kamu saat berbicara, tertawa, tersenyum, dan membenarkan kerudung biru langit itu. Yang ini juga perlu kamu tahu, diam-diam aku meminta karyawanku untuk merekam kegiatanmu di kafeku itu dan aku putar ulang saat di rumah. Aku masih menyimpan rekaman itu hingga detik ini.