Mohon tunggu...
Edy Gunarto
Edy Gunarto Mohon Tunggu... Relawan - atasan langsung

manusia nomaden di abad modern, menulis apa saja yang kira-kira tahu...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dikotomi Buku: Jawa dan Luar-Jawa

25 April 2012   03:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:08 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bertahun-tahun tinggal di DI. Yogyakarta dan kemudian di Jabotabek, saya merasakan bahwa demikian mudahnya buku bisa dicari dengan harga yang sangat terjangkau di daerah tersebut. Bagi mahasiswa dan orang-orang berkantong cekak, bisa mendapatkan buku murah bahkan jauh di bawah harga resmi di Shopping Center (Jogja) atau didaerah Kwitang (Jakarta) meski konon sebagian buku-buku baru yang dijual di sana adalah buku bajakan. Ah, siapa peduli, yang penting isinya.  Rata-rata, harga buku baru yang dijual di dua tempat tersebut lebih murah 30% atau bahkan separuh harga standar di toko buku. Kalau masih kurang murah, bahkan harga buku masih bisa ditawar. Selain buku baru, berbagai buku bekas, buku lama, koran, majalah, kliping, artikel juga bisa dicari di sini. Pendek kata, disanalah surganya buku.

Selain tersedia pusat penjualan/pasar buku, di kota-kota besar di Jawa secara rutin juga diselenggarakan pameran buku (book fair) beberapa kali dalam setahun, tentu dengan banyak pilihan penerbit buku dan diskon yang menggiurkan. Jadi pameran buku adalah kesempatan untuk memborong buku.

Selain kemudahan dalam mendapatkan (membeli) buku yang diimbangi dengan tingginya minat masyarakat membeli buku, perpustakaan umum milik pemerintah daerah pun ramai dikunjungi masyarakat terutama pelajar. Bahkan pada hari Ahad, ada perpustakaan umum daerah yang tetap buka dan tetap ramai.

Kontras dengan kisah di atas, pengalaman berbeda saya alami di daerah luar Jawa yang saya tinggali. Saat saya tinggal di Kab. Rejang Lebong, Bengkulu saya dapati perpustakaan umum milik pemerintah kabupaten  sepi pengunjung. Bukunya cukup banyak dan tertata rapi, namun sebagian besar kertasnya sudah menguning alias sudah berumur belasan tahun bahkan lebih.  Majalah yang tersaji pun tak kalah beda. Didominasi majalah lama. Toko buku yang ada Curup (ibu kota kabupaten) jauh dari kategori lengkap.

Sekarang saya tinggal di Makassar, pintu gerbang dan kota terbesar di Indonesia Timur. Di kota ini toko buku Gramedia bahkan ada di 3 pusat perbelanjaan dan yang pasti harganya juga harga standar. Bertahun tahun tinggal di kota ini, jarang sekali ada pameran buku berskala besar dengan diskon yang 'wah'. Pameran buku yang diselengarakan "Kompas-Gramedia" di Balai Prajurit M Yusuf beberapa tahun lalu misalnya, hanya diikuti beberapa penerbit dengan diskon yang berkisar 10-20% dan beberapa item beberapa sedikit di atas itu. Tetap mahal. Ya, di kota Makassar tidak ada pasar buku seperti Shopping Center (Jogja, sekarang sudah bubar) dan Kwitang (Jakarta) yang sepanjang tahun tersedia buku murah. Buku bekas, koran dan majalah bekas juga hanya ada sedikit.

Kondisi Perpustakaan Umum Kota Makassar pun cukup memprihatinkan : lengang. Bangunan 2 lantai ini sepi pengunjung. Entah kenapa di kota yang besar ini pengunjung perpustakaannya hanya sedikit. Mungkin masyarakat lebih menyukai numpang baca di Toko buku Gramedia yang koleksinya selalu baru dan lengkap, di pusat perbelanjaan lagi.

***

Tulisan di atas cukup memberikan gambaran mengenai dua hal : minat baca masyarakat dan ketersediaan buku, di Jawa dan luar Jawa. Dua hal ini adalah unsur permintaan (demand) dan penawaran (supply) dalam pasar perbukuan. Minat baca masyarakat akan berbanding lurus dengan jumlah buku yang tersedia di pasaran. Dalam kacamata bisnis, memang dapat dimaklumi bahwa penerbit/distributor buku tak mau berjualan buku di tempat yang sepi peminat. Di sisi lain, keterbatasan buku juga mempengaruhi kadar wawasan masyarakat.

Pemerintah daerah seharusnya tanggap dengan gejala ini. Minat baca masyarakat harus dibangkitkan. Tidak cukup dengan spanduk himbauan dan  ceramah, namun masyarakat seharusnya juga disediakaan fasilitas bacaan buku-buku bermutu. Hal ini memang butuh modal, namun menyediakan buku/bacaan adalah bentuk investasi. Jika asumsinya sebuah buku sedang berharga Rp 50.000,- maka jika pemerintah daerah bisa menyisihkanAPBD sejumlah seratus juta setiap tahun untuk pembelian buku baru di perpustakaan daerah, maka masyarakat setiap tahun bisa menikmati 2.000 buku baru. Ketersediaan banyak buku baru di perpustakaan umum tentu dapat menarik minat untuk meminjam dan membacanya. Cukup dimulai dengan buku-buku ringan seperti komik, cerpen, novel dan majalah serta buku-buku yang sifatnya praktis yang sekiranya banyak diminati pelajar dan masyarakat secara umum, seharusnya perpustakaan umum daerah bisa ramai pengunjung jika pengelolanya tahu apa yang dicari pengunjung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun