[caption caption="Cruyff dan Timnas Catalonia 2013 (sumber: Wikipedia/ Xavier Rondón Medina)"][/caption]Nama Johan Cruyff (1947-2016) pertama kali saya dengar kira-kira akhir 1970-an atau awal 1980-an, ketika teman sekolah saya bercerita bahwa menurut kakaknya, pemain terbaik di dunia adalah Johan Cruyff. Saya sedikit terheran, karena saat itu sedang moncer nama Mario Kempes yang baru saja membawa Argentina Juara Dunia 1978. Jaman itu belum ada Youtube, sehingga kita tak bisa memutar ulang berbagai rekaman pertandingannya. Juga tak ada siaran langsung liga-liga kelas dunia seperti sekarang ini, sehingga pengetahuan kita tentang bintang-bintang sepakbola sangat terbatas.
TVRI hanya sering memutar ulang siaran pertandingan Liga Jerman. Saya cukup sering menonton Karl Heinz Rummenigge (Bayern Muenchen), juga Kevin Keegan (Hamburg SV), tetapi tetap tak pernah menonton Cruyff. Dalam situasi seperti itu, jelas bahwa saya tak lantas mengaguminya. Bagaimana mau kagum, wong kenal saja tidak..
Kiprah Cruyff lebih banyak saya ikuti melalui majalah olahraga (sepakbola) yang rutin saya beli. Saya kemudian tahu, bahwa dia hanya sempat main di satu Piala Dunia untuk Belanda, yaitu 1974 di Jerman (kalah di final lawan Jerman Barat). Pantas saja saya tak mengenalnya, pikir saya, karena saya baru "melek Piala Dunia" mulai 1978 di Argentina (dengan Kempes sebagai jagoannya).
Status saya sebagai penggemar FC Barcelona 'garis keras' (sejak awal 1990an) membuat saya terus mengikuti berita dan/atau analisis tentang bintang-bintangnya, dan itu artinya --tentu saja-- termasuk Johan Cruyff. Selain pernah bermain di sana, Cruyff juga pernah menjadi pelatih. Kedua posisi ini dijalaninya dengan (sangat) sukses.
Hal itu membuat saya tahu, atau setidaknya merasa tahu, banyak tentang Cruyff. Keberadaan Youtube semakin memudahkan saya untuk mengikuti kiprahnya. Bukan hanya rekaman pertandingan atau gol-golnya, tetapi juga pemikirannya melalui berbagai diskusi atau wawancara.
Dari situ saya menyimpulkan bahwa Johan Cruyff merupakan bintang yang jauh lebih lengkap dibandingkan, katakanlah, Pele, Maradona, George Best, Zico, dsb. Nama-nama itu hebat, tetapi hanya dalam hal bermain sepakbola. Cruyff tidak hanya pemain terbaik pada masanya, tapi, lebih dari itu, dia juga seorang pemikir. Ide-idenya jauh lebih hebat ketimbang kiprahnya di lapangan, karena berpengaruh besar pada permainan itu, dan juga pada aspek lain di luar sepakbola. Yang sedikit mendekati dia barangkali cuma Michel Platini dan Franz Beckenbauer.
Oleh karena itu, saya menjulukinya "intelektual sepakbola".
Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari berbagai pemikiran Cruyff. Dan, sekali lagi, itu tidak hanya berlaku di dunia sepakbola. Berikut ini rinciannya..
1. Jenius adalah orang yang mampu membuat hal rumit terlihat sederhana
Salah satu prinsip sepakbola Cruyffian (aliran Cruyff) adalah bermain sederhana/simpel. Itu artinya, cukup satu-dua sentuhan, lalu oper, ambil posisi, terima operan, oper lagi, dst. Pada tataran ekstrem, bahkan tak ada yang namanya tembakan (shooting), karena alih-alih disebut sebagai tembakan, gol ke gawang lawan dianggap sebagai "operan terakhir".
Tapi jangan dikira mudah melakukannya. Cruyff sendiri menyatakan, diperlukan seorang pemain dengan kelas "master" untuk memainkan sepakbola satu sentuhan (one touch football) itu.
Dalam praktik, Cruyff sendiri tak selalu bermain dengan satu sentuhan. Orang banyak terpesona oleh gocekannya menipu lawan -- sering disebut putaran Cruyff (Cruyff turn)-- atau dribble-nya, padahal sebenarnya bukan itu inti atau filosofi permainannya.
Cruyff juga terkenal mampu menjelaskan hal-hal rumit secara sangat sederhana. Suatu saat, dia diwawancarai wartawan di halaman belakang rumah yang dilengkapi dengan lapangan rumput yang cukup luas. Saat ditanya tentang ide pertahanan dalam sepakbola, dia menjelaskan begini:"Lihat lapangan itu. Kalau saya sendiri harus menjaganya, saya akan menjadi pemain bertahan terburuk di dunia. Tapi kalau saya hanya perlu menjadi sepetak lapangan (sembari tangannya menunjuk radius 5 meter sekelilingnya), saya akan jadi pemain bertahan yang sempurna". Dia sedang menjelaskan ide tentang perlunya mempersempit area permainan pada fase bertahan. Sederhana, tapi jelas, bahkan untuk orang yang tak terlalu mengerti teknik sepakbola.
2. Proses lebih penting daripada hasil
Cruyff jelas model orang yang berbeda dengan, katakanlah, Mourinho. Bagi Mourinho (dan orang sejenisnya) kesuksesan diukur dengan jumlah tropi yang diraih. Tentu itu tidak salah. Masalahnya adalah Cruyff tidak berpendapat demikian.
Menurut Cruyff, cara atau proses bermain jauh lebih penting hasil pertandingan itu sendiri. Saat menjadi pelatih dan mengamati pertandingan dari bangku cadangan, Cruyff mengaku sering lupa berapa skor pertandingan karena terlalu fokus pada permainan. Dia juga mengklaim bahwa saat disebut Piala Dunia 1974, orang lebih banyak terkenang tentang permainkan total football Timnas Belanda. Padahal yang menjadi juara saat itu adalah Jerman (Barat).
Banyak orang kemudian bertanya:"Apa yang mesti dipilih, main bagus tapi kalah atau main jelek tapi menang?". Pertanyaan ini dijawab :"Itu bukan pilihan, karena peluang untuk menang akan semakin besar jika kita bermain bagus". Brilian!
3. Kerja cerdas, bukan kerja keras
Soal etos kerja, boleh dibilang Cruyff merupakan antitesis pelatih Inggris. Inggris merupakan bangsa yang terobsesi dengan kerja keras, termasuk dalam sepakbola. Pemain "bagus" menurut mayoritas pelatih Inggris adalah mereka yang "ada di mana-mana" dan "tak pernah berhenti berlari selama 90 menit".
Kita pun secara tidak sadar menganut falsafah itu. Mayoritas kita lebih kagum pada orang yang terlihat bekerja keras ketimbang orang yang terlihat 'santai', meskipun orang yang terlihat 'santai' itu mungkin menghasilkan output lebih banyak. Kembali ke sepakbola, Chris Waddle, pemain Timnas Inggris dan lama di Tottenham Hotspurs, adalah salah satu pemain yang --meskipun bagus-- 'tak terlalu disukai' di Inggris, karena dianggap malas alias tidak memenuhi kriteria "tak berhenti berlari sepanjang 90 menit" tadi.
Cruyff tak seperti itu. Dia punya pendapat menarik tentang hal itu, yaitu: "Jika anda berlari kencang, berarti anda terlambat start". Jadi, kalau ada pemainnya yang lari kencang sekali, itu bukan pertanda bahwa dia pemain bagus. Sebaliknya, itu merupakan pertanda dia tidak pandai mencari posisi dan memutuskan kapan mesti mulai berlari.
Dalam sebuah pertandingan, Tim Barcelona yang diasuhnya (1988-1994) bermain jelek di Babak I. Saat jeda, bukannya minta pemainnya bekerja lebih keras, dia malah bilang bahwa "anda semua terlalu banyak berlari".. Jelas bahwa Cruyff lebih mementingkan kerja cerdas mengandalkan otak ketimbang kerja keras yang mengandalkan tenaga/otot.
4. Membantu tak selalu berarti ikut campur tangan
Dalam sebuah diskusi (talk show) di salah satu stasiun TV Belanda, Cruyff diminta menjelaskan tentang formasi berlian (diamond) di lini tengah. Sebelum menjawab, dia balik bertanya:"Berlian mana yang anda maksud?". Sang host acara yang tadi bertanya malah jadi bingung, tak mengerti arah pertanyaan yang balik diajukan oleh Cruyff. Dia kemudian menjelaskan bahwa istilah yang sama bisa mempunyai makna berbeda, tergantung konteksnya.
Dia lantas memberikan ilustrasi tentang istilah "membantu pemain lain". Membantu tidak selalu berarti mendekat. Kalau pemain yang hendak dibantu sedang kesulitan karena ditekan pemain lawan, "membantu" memang bisa berarti mendekat. Tapi kalau pemain itu sedang ingin membawa bola, "membantu" artinya jangan mendekat, tapi menjauhlah dan cari posisi yang tepat untuk nanti diberi umpan.
Hal seperti juga berlaku untuk hal-hal di luar sepakbola..
5. Konflik tak selalu merugikan
Johan Cruyff merupakan salah satu orang yang sangat konsisten dalam berkonflik. Di mana pun dia, apa pun posisinya, dia tak segan berkonflik dengan orang lain.
Pemain seperti dia jelas tak mudah ditangani sembarang pelatih. Boleh dibilang hanya RInus Michel seorang mampu mengendalikan dan bekerjasama secara baik dengan Cruyff saat masih bermain.
Di sisi lain, sebagi pelatih dia tak segan merekrut pemain-pemain bandel macam Hristo Stoichkov dan Romario untuk Barcelona. Bahkan Stoichkov sengaja didatangkan karena menurut Cruyff di Barcelona sudah "terlalu banyak orang baik-baik". Stoichkov sendiri secara terbuka menyampaikan bahwa dia sering berdebat dengan Cruyff, tapi tak ada yang menyangkal bahwa dia merupakan salah satu Cruyff-ian sejati.
Cruyff tak takut berkonflik, karena menurut dia, jika dikelola dengan baik konflik akan memunculkan potensi terbaik seseorang. Itu tak berarti semua konflik yang melibatkan dirinya berakhir secara positif, tetapi dia menunjukkan satu karakter yang tak dimiliki banyak orang, apalagi kita sebagai "orang Timur", yaitu: tidak takut berkonflik, tentu untuk tujuan yang positif.
(BERSAMBUNG)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI