Mohon tunggu...
Edy Priyono
Edy Priyono Mohon Tunggu... profesional -

Pekerja peneliti, juga sebagai konsultan individual untuk berbagai lembaga. Senang menulis, suka membaca. Semua tulisan di blog ini mencerminkan pendapat pribadi, tidak mewakili institusi apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kupang, Kota Tanpa Selokan

10 Januari 2014   07:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:58 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1389315479871550678

[caption id="attachment_289312" align="aligncenter" width="284" caption="Banjir di Kota Kupang (sumber: metronews.com)"][/caption] Meskipun tidak terlalu sering, Kupang termasuk kota yang sudah tidak asing lagi bagi saya. Hingga saat ini terhitung sudah lima atau enam kali saya berkunjungke Ibukota Provinsi NTT itu. Meski tak terlalu pesat, terlihat jelas ada kemajuan geliat kegiatan sosial-ekonomi di kota itu. Salah satu indikatornya adalah beroperasinya sebuah jaringan hypermarket di kota itu. Hotel juga semakin banyak, beberapa di antaranya hotel berbintang. Tapi ada satu hal yang terperhatikan oleh saya pada kunjungan saya di bulan Januari 2014 ini. Saat naik taksi dari Bandara El Tari menuju hotel, saya melalui sebuah ruas jalan yang digenangi air. Tidak banyak, tapi cukup mencolok mata, karena saat itu sama sekali tidak turun hujan. Spontan saya pun bertanya pada sopir taksi yang mengantar, "Lho, itu itu air dari mana, Pak?" "Itu air buangan dari hotel," jawabnya. Agak kaget saya mendengar jawaban itu, meskipun saya tahu memang ada hotel di pinggir jalan itu. "Lho, kenapa tidak dibuang ke selokan?" tanya saya penasaran. "Di Kupang mana ada selokan, Pak...," kata sang sopir. Saya jadi malah jadi semakin penasaran untuk membuktikan kebenaran pernyataan itu. Setelah itu, saya pun dengan sengaja memperhatikan jalan-jalan yang saya lewati, baik jalan protokol maupun ruas jalan lain. Ternyata benar adanya. Sama sekali saya tidak melihat adanya selokan (saluran air) yang lazim dibangun di sisi-sisi jalan. Di beberapa ruas terlihat ada lubang di bawah trotoar di sisi jalan. Sepintas lubang kecil itu seperti menuju gorong-gorong yang biasanya terdapat di bawah trotoar. Tetapi ketika saya perhatikan, di ujung jalan dan trotoar itu tidak ada saluran air. Artinya, lubang kecil di bawah trotoar itu memang dapat berfungsi sebagai jalan air, tetapi air itu tidak akan menuju ke selokan (karena memang tidak ada selokan). Saya tidak tahu persis, karena saya bukan penduduk Kupang, tapi tampaknya memang tidak ada proyek pembangunan selokan. Pembangunan jalan banyak, mayoritas jalan juga terlihat bagus, tetapi selokan kelihatannya juga tidak menjadi satu paket kegiatan pembangunan dan/atau perbaikan jalan. Selokan yang ada pun, selain jumlahnya sedikit, tidak terpelihara sehingga tidak berfungsi dengan baik. Atau pun kalau ada di tepi jalan-jalan protokol, dia tidak terkoneksi dengan saluran air lain. Jadi ya sama saja tidak ada. Saya tidak tahu mengapa hal itu terjadi. Saya hanya bisa menduga-duga. Mungkin para pengelola kota merasa bahwa Kupang pasti aman dari banjir, karena kontur tanah yang naik turun memang cukup membantu. Dalam sebuah obrolan informal dengan kenalan, saya sampaikan kekhawatiran bahwa suatu saat nanti, kalau tetap tidak punya selokan, Kupang akan terancam banjir. Belum dua hari obrolan itu, saya sadar, bahwa kekhawatiran saya ternyata salah. Banjir ternyata bukan lagi ancaman di masa depan, melainkan sudah menjadi kenyataan! Sore menjelang malam hari saya sedang di kamar hotel ketika turun hujan cukup deras. Hujan turun sekitar dua jam, tetapi hanya satu jam yang curah hujannya besar, satu jam lainnya hujan sedang atau rintik-rintik saja. Ketika hujan mereda, saya keluar hotel dengan maksud makan malam. Sampai di gerbang masuk hotel, saya terkejut, karena ternyata jalan di depan hotel tergenang air cukup tinggi, sekitar 30 cm. Setelah saya tanya, satpam hotel bercerita, bahwa itu sudah sering terjadi. Setiap hujan deras sekitar satu jam, beberapa ruas jalan akan terendam. Itulah mengapa, di sisi-sisi jalan banyak orang membuat semacam tanggul, supaya tempat mereka tidak terkena luberan banjir di jalan. Setelah menunggu 30 menit, banjir segera surut, menunjukkan bahwa penyebab banjir adalah sistem drainase yang tidak baik (bukan sungai meluap atau curah hujan yang luar biasa). Jadi, saya amat yakin bahwa banjir yang terjadi di Kupang disebabkan oleh tidak adanya selokan air. Kalau benar demikian, maka pemecahannya sebenarnya sederhana, yaitu segera saja dibangun selokan-selokan. Pemkot juga sebaiknya mewajibkan developer untuk melengkapi bangunan yang dikerjakannya dengan saluran air. Tidak sulit sebenarnya, tetapi dibutuhkan kemauan. Tanpa kemauan, tidak akan ada jalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun