[caption id="attachment_344591" align="aligncenter" width="300" caption="Poster Film Pendekar Tongkat Emas (sumber: www.wikipedia.org)"][/caption]
Setelah cukup lama lama tidak nonton film (di bioskop), akhirnya saya memutuskan untuk menonton "Pendekar Tongkat Emas" ( selanjutnya disingkat PTE), sebuah film silat karya sutradara Ifa Isfansyah dan produser Mira Lesmana. Terus terang, saya terprovokasi oleh Rolling Stone Indonesia (RSI), majalah musik kesayangan saya.
Di majalah itu PTE dibahas sampai dua kali terbitan berturut-turut. Entah karena dianggap saking menariknya, atau sekedar hubungan baik antara penerbit RSI dan produser PTE, atau mungkin ada hubungan bisnisl di antara keduanya, saya tidak tahu, dan juga tidak terlalu peduli. Intinya, saya jadi penasaran untuk menonton PTE sejak sebelum film itu dirilis.
Ternyata penonton tidak terlalu ramai, meski tak juga bisa dibilang sepi peminat. Kalau dibandingkan dengan, katakanlah, "Ada Apa dengan Cinta?" atau "Sherina" (yang juga diproduseri Mira Lesmana), jauh sekali kadar keramaiannya. Tampaknya tak banyak orang yang penasaran seperti saya.
Alur cerita PTE sangat mudah diikuti, dan terlihat sangat diwarnai oleh gaya bertutur komik (cerita bergambar). Syahdan, ada pendekar sakti bernama Cempaka (Christine Hakim) yang punya senjata pamungkas berupa tongkat berlapis emas (beserta jurusnya, tentu saja). Cempaka punya empat murid, tiga di antaranya adalah anak mantan musuh yang dibunuhnya, yaitu Biru (Reza Rahardian), Gerhana (Tara Basro) dan Dara (Eva Celia). Murid satu lagi adalah Angin (Aria Kusumah) yang tak jelas orang tuanya. Jadi dari awal Cempaka sudah tahu bahwa dia memelihara 'anak macan'.
Saat beranjak tua dan sakit-sakitan (akibat diracun oleh Gerhana), Cempaka berniat mewariskan tongkat emasnya kepada Dara (dan Angin yang diminta menemaninya). Biru sakit hati, karena sebagai murid terkuat dia berharap tongkat emas jatuh ke tangannya. Bersama Gerhana, Biru berupaya merebut tongkat itu, bahkan untuk itu mereka tega membunuh Cempaka. Dalam pertempuran memperebutkan tongkat emas, Dara dan Angin terluka dan jatuh ke jurang, tapi ditolong oleh seorang pendekar bernama Elang (Nicholas Saputra). Sebuah jalan cerita tipikal komik silat.
Setelah berkali-kali gagal, dengan licik Biru dan Gerhana berhasil merebut tongkat emas itu setelah menyandera Angin. Sebagai pemilik sah, Dara tentu saja berusaha merebutnya kembali.
Singkat cerita, meski mesti merelakan Angin yang tewas di tangan Biru, dengan bantuan Elang (yang ternyata merupakan anak kandung Cempaka) akhirnya Dara berhasil merebut kembali tongkat temas warisan guru Cempaka. Itu juga tipikal cerita silat, dimana kebenaran pada akhirnya akan selalu menang.
Dengan plot cerita seperti itu, penonton yang berharap kejutan dalam bentuk jalan cerita akan kecewa. Saya sendiri tidak kecewa, karena dari awal sudah tahu bahwa film itu memang lahir dari kegandrungan Mira dan Ifa terhadap komik silat yang kerap dibacanya saat masa kanak-kanak dan remaja.
Meskipun demikian, tidak lantas tak ada nilai plus PTE. Gambar-gambar yang indah adalah salah satunya, dan menurut saya yang utama. Selain alam Sumba Timur (lokasi shooting) yang memang menawarkan lansekap istimewa khas Indonesia, sang sutradara dan juru kamera juga piawai membidiknya.
Musiknya juga bagus. Tak sia-sia Erwin Gutawa merasa harus menggandeng Orkestra Praha untuk mewarnai musik garapannya. Juga keterlibatan Anggun dalam menyanyikan theme song film itu.
Yang juga menarik adalah pendekatan yang dipakai dalam casting. Setelah era "aktor dilatih silat" di jaman Ratno Timoer (serial "Si Buta dari Goa Hantu"), film Indonesia sempat beralih ke pendekatan "pesilat dilatih akting". Itu terjadi di era Advent Bangung (eks karateka nasional dan aktor di serial "Jaka Sembung"), Lamting (eks taekwondoin nasional, main di sinetron "Saur Sepuh" atau cerita turunannya) dan Iko Uwais (pesilat yang main di 'The Raid").
PTE memilih pendekatan 'era Ratno Timoer', yaitu membekali aktor/aktris  dengan kemampuan beladiri, setidaknya pada level yang cukup untuk berakting dengan (terlihat) alamiah. Hasilnya tak sia-sia. Para pemain terlihat mampu berakting silat dengan baik. Ya, saya tahu, tentu saja dengan dukungan editing dan special effect, tapi tak percuma Mira mendatangkan instruktur laga dari Hong Kong.
Saya harus memberi pujian pada permainan Reza Rahardian yang bisa terlihat bengis dan jahat ketika memerankan Biru, sebuah karakter yang sangat berbeda dengan film-film yang dia perani sebelumnya. Aria Kusumah juga bermain bagus sebagai Angin, sangat natural. Saya sampai penasaran yang mencari informasi tentang Aria. Setelah kesulitan, saya harus cukup puas hanya dengan menemukan akun Twitternya(@ariakusumah_s).
Christine main standar (artinya bagus seperti biasanya). Tara agak terlihat canggung, sedangkan Eva tidak terlihat istimewa tapi punya potensi. Nicholas Saputra bermain standar, tak jauh dari sosok Rangga yang dingin dalam AADC.
Dari sisi penggarapan, PTE sangat memperhatikan detil, terutama untuk urusan kostum dan setting adegan. Saya sebenarnya menunggu munculnya apel Washington dan 'makanan masa kini' lain dalam adegan makan seperti yang sering terlihat di sinetron silat kita. Syukur Alhamdulillah, 'keanehan' seperti tidak muncul..
Meski demikian, tetap ada beberapa hal yang terasa mengganggu, terutama dari sisi logika. Pertama, bagaimana bisa pendekar sakti seperti Cempaka sama sekali tidak sadar diracun perlahan-lahan oleh muridnya sendiri (Gerhana) yang tinggal di lingkungan yang sama?
Kedua, di bagian akhir cerita, penonton melihat bahwa Gerhana dan Biru mempunya anak berumur sekitar lima tahun (yang akhirnya dijadikan murid oleh Dara setelah Gerhana dan Biru tewas). Artinya, ada waktu sekitar 5-6 tahun sejak penyerahan tongkat emas sampai ke tewasnya Gerhana/Biru. Sayangnya, itu sama sekali tak tercermin di penampilan dan wajah para pemain, khususnya Dara dan Gerhana. Padahal, dengan sedikit polesan make up, detil kecil seperti itu bisa ditangani dengan mudah.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, saya menganggap "Pendekar Tongkat Emas" sebagai film bagus, meskipun tidak bisa dibilang istimewa. Dalam skala 0-10, saya dengan senang hati memberi nilai 7,5.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H