Hal serupa juga terjadi dalam pemberitaan kasus kecelakaan Air Asia. Terkait sidak Menhub Jonan ke kantor Air Asia misalnya. Ada media yang memberitakan Menhub "marah besar", ada yang menyatakan "menegur". Entah mana yang benar, tapi dua istilah itu ("marah besar" dan "menegur") punya konotasi yang berbeda.
Opini media massa yang disebut oleh Heikal juga dapat terwujud dalam bentuk pemihakan kepada pihak tertentu. Tentu saja "pihak tertentu" yang dimaksud adalah pihak yang dianggap benar oleh masing-masing media. Fakta bahwa pihak yang dianggap benar itu ternyata tidak seragam menunjukkan bahwa tidak semua yang dianggap "benar" oleh media itu benar-benar benar.
Yang seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia.
Saat pemerintah AS menyatakan perang terhadap terorisme, terjadi perdebatan tentang bagaimana media massa harus mengambil posisi. Apakah media harus menerapkan "jurnalisme patriotik" yang mendukung penuh kebijakan pemerintah dengan hanya menyampaikan fakta-fakta yang sejalan dengan itu, ataukah menyampaikan fakta apa adanya dengan risiko mungkin ada beberapa yang tidak sejalan dengan kebijakan tsb?
Perdebatan itu --tentu saja-- tidak pernah tuntas atau sampai pada satu kesimpulan yang solid. Pada praktiknya, mayoritas media di AS menerapkan prinsip "jurnalisme patriotik" dan hanya sedikit yang menjaga obyektivitasnya.
Jadi, kita jangan naif dan menganggap semua yang disampaikan oleh media massa merupakan fakta atau kebenaran. Para pakar sudah mengingatkan, bahwa kebenaran yang disampaikan oleh media adalah "second hand reality" alias kenyataan tangan kedua. Artinya fakta tersebut sudah diolah oleh media sesuai dengan kepentingan dan opininya sebelum disampaikan kepada masyarakat.
Sikap seperti itu juga muncul di kalangan masyarakat sebagai konsumen media massa. Kita kembali ambil kasus TVOne dan Metro TV. Para pendukung Jokowi secara sengaja memilih menonton Metro dan menganggap semua beritanya sebagai fakta/kebenaran. Sebaliknya, para pendukung Prabowo sengaja menonton TVOne dan juga menganggap beritanya sebagai fakta/kebenaran. Padahal semua tahu, isi berita kedua stasiun TV itu sangat bertolak belakang, sehingga tidak mungkin dua-duanya benar.
Oleh karenanya jangan heran kalau ada pakar yang berpendapat bahwa saat membaca atau mengkonsumsi media, masyarakat sebenarnya bukan mencari fakta/kebenaran, tetapi mencari apa yang mereka suka..
Lalu bagaimana dengan kelompok yang non-partisan alias tidak memihak kubu tertentu dan menginginkan obyektivitas. Yang pasti adalah jangan pernah berharap semua media akan bersikap obyektif, karena yang seperti itu tidak akan pernah terjadi (setidaknya di era 'modern' seperti sekarang ini).
Yang bisa dilakukan adalah tidak mengandalkan media massa sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Jika memang mengkonsumsi media, sebaiknya jangan hanya media tertentu. Semakin beragam media yang kita konsumsi, semakin kita akan dekat dengan kebenaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H