Mohon tunggu...
edy neneng
edy neneng Mohon Tunggu... -

Media Trainer, Konsultan dan Praktisi PR

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Sebuah Dongeng Berjudul Kesejahteraan Rakyat

16 Mei 2014   12:25 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:29 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

oleh Edy Mulyadi*

Parlemen AS Bakal Dilarang Naik Pesawat Kelas Satu. Begitu berita yang dirilisInilah.comRabu siang (14/5). Berita yang bersumber dariFox Newsitu menyebutkan sebuah Rancangan Undang-undang (RUU) yang melarang anggota parlemen AS menikmati pesawat kelas utama sedang digulirkan.

Amerika Serikat, negara adidaya dan yang sering disebut-sebut sebagai kampiun demokrasi itu, seperti sedang memberi contoh bagaimana menggunakan uang rakyat secara bijak. Hebatnya lagi, inisiator langkah keren itu justru datang dari kalangan anggota kongres sendiri.

“Anggota Kongres tidak menggunakan duit rakyat untuk membeli tiket kelas satu. Anggota parlemen tidak selayaknya menggunakan uang pajak untuk membeli tiket mahal,” kata Paul Gosar, anggota Kongres Republik.

Selain berlaku bagi anggota parlemen, RUU tersebut juga bakal diterapkan ke seluruh staf parlemen AS dan pegawai Gedung Putih. Tentu saja larangan itu tak berlaku bagi anggota parlemen yang cacat tubuh dan perlu bantuan medis atau sejenisnya.

Bagaimana di Indonesia? Di sinilah serunya. Di Negara Gemah Ripah Loh Jinawin ini, pemerintah dan DPR bersekongkol untuk menghambur-hamburkan uang rakyat. Lihat saja anggaran biaya perjalanan dinas di APBN 2104 yang mencapai Rp32 triliun. Jumlah ini naik hampir 11 kali lipat dibandingkan anggaran 2009 yang Rp2,9 triliun. Bayangkan, hanya dalam tempo lima tahun, anggaran jalan-jalan para pejabat publik kita naik hampir 11 kali lipat!

Kita akan kian geram, ketika menguliti postur APBN. Dari sini dengan gampang diketahui, betapa politik anggaran kita sama sekali tidak berpihak kepada perbaikan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Pada APBN 2014, misalnya, tidak urang dari 37% pendapatan dari pajak dihabiskan hanya untuk kebutuhan belanja pegawai, baik pusat maupun daerah.Lalu, APBN juga mencantumkan belanja rutin menggerogoti 54% pajak rakyat yang dipungut dari Sabang sampai Merauke. Sebagai informasi, total pendapat pajak di APBN 2014 dipatok Rp1,661 triliun.

Sekarang bandingkan dengan alokasi anggaran untuk pertanian. Di negeri agraris yang sebagian besar rakyatnya hidup di pedesaan ini, pemerintah hanya mengucurkan Rp16,42 triliun untuk anggaran pertanian. Ironisnya, jumlah itu turun Rp1,442 triliun dibandingkan tahun sebelumnya.

Ketua Komisi IV DPR Mochammad Romahurmuziy mengatakan, pemotongan anggaran tersebut dilakukan untuk penghematan dan memperkecil defisit anggaran. Benar-benar luar biasa. Demi penghematan dan memperkecil defisit, anggaran untuk rakyat dipotong. Lalu mereka sembunyikan dimana kata ‘penghematan’ itu ketika mereka mengerek tinggi-tinggi angaran pelesiran yang tidak bermoral bagi para pejabat publik?

Sekarang kita simak, bagaimana potret anggaran kesehatan. APBN 2014 hanya mengalokasikan anggaran Kementerian Kesehatan sebesar Rp46,5 triliun, alias cuma selisih Rp14,5 triliun dengan biaya jalan-jalan pejabat. Jika dibagi 240 juta jiwa penduduk Indonesia, maka rata-rata tiap rakyat hanya dijatah Rp19.375/tahun. Kecil banget, memang!

Tapi eit, nanti dulu. Jumlah tadi dengan asumsi bahwa Rp46,5 triliun anggaran Kemenkes itu seluruhnya, ulangi; seluruhnya, dialokasikan ke rakyat Indonesia. Maksudnya, gaji menteri berikut beramacam tunjangan dan fasilitasnya tidak diambil dari yang Rp46,5 triliun. Hal serupa juga berlaku untuk seluruh pegawai, mulai level dirjen hingga petugas kebersihan. Tidak juga ada anggaran untuk membangun/memperbaiki gedung, membeli mobil dinas, perlengkapan kantor, dan seterusnya dan seterusnya. Mungkinkah? Ya pastigalah ya....

Pesta pora

Masih soal ketidakberpihakan APBN kepada rakyat, kita juga bisa membandingkannya dengan apa yang diterima pada para anggota DPR. Bukan rahasia lagi bila, legislator kita hanya sibuk mengurus diri mereka sendiri dengan berbagai gaji, fasilitas, dan tunjangan serba-wah. Padahal, sebagai anggota Dewan, yang konon terhormat, mereka telah mengantongi gaji yang gede banget. Jangan terkejut, kalau gaji ‘warga Senayan’ itu termasuk nomor empat yang paling tinggi dunia.

Independent Parliamentary Standards Authority(IPSA) dan Dana Moneter Internasional (IMF) merilis gaji anggota DPR RI berada di peringkat keempat terbesar di dunia. Anggota DPR dalam setahun bisa menangguk pendapatan US$65 ribu atau sekitar Rp780 juta. Jumlah yang mereka terima itu bahkan mengalahkan pendapatan anggota parlemen Amerika Serikat!

Serunya lagi, angka itu tidak termasuk gaji ke-13, dana reses atau aspirasi daerah pemilihan, dan insentif setiap kali ikut membahas rancangan undang-undang. Jika ditotal, dalam satu tahun pendapatan seorang legislator bisa lebih dari Rp1 miliar. Sungguh nilai yang sangat fantastis, terutama dibandingkan sebagian besar rakyat Indonesia yang hidupnya masih di bawah garis kemiskinan.

Tapi dasar bermental sontoloyo, dengan gaji dan berbagai fasilitas serba-dahsyat seperti itu, mereka masih saja bawel untuk urusan remeh-temeh. Publik mungkin belum lupa, ketika anggota Dewan meributkan menu kudapan yang mereka terima dalam rapat-rapat. Alasannya, menunya itu-itu saja! Publik juga masih ingat, bagaimana DPR merenovasi ruang rapat Badan Anggaran (Banggar) dengan biaya Rp20 juta/m2, plus kursi yang Rp24 juta/unit.

Cerita menyebalkan bin memuakkan dari Senayan sepertinya tidak kunjung kering. Di penghujung 2013, lagi-lagi rakat Indonesia dibuat marah kepada mereka. Pasalnya, Berdasarkan data Indonesia Budget Center (IBC), pada kurun 2009-2014 DPR menghabiskan anggaran Rp 11,8 triliun itu. Dahsyatnya anggaran itu antara lain digunakan untuk membiayai reses anggota DPR. Pada 2014, misalnya, anggaran reses DPR ditetapkan sebesar Rp 994,9 miliar atau Rp 1,7 miliar untuk setiap anggota DPR!

Asal tahu saja, dana reses itu naik empat kali lipat dari dana reses tahun 2010 yang ditetapkan Rp 411,3 juta untuk setiap anggota DPR.

Dengan guyuran gaji dan bermacam fasilitas superdahsyat itu, ternyata kinerja DPR kita justru superjeblok. Fungsi pengawasan, penganggaran, dan legislasi dengan baik yang melekat nyaris menyentuh titik nol. Di bidang legislasi, DPR tidak pernah berhasil memenuhi target. Tahun lalu, DPR hanya menyelesaikan pembahasan 7 RUU prioritas dari 70 RUU yang diprioritaskan. Kisah setali tiga uang juga terjadi sejak 2010, dari target 70 RUU prioritas hanya 8 yang jadi UU. Begitu pula tahun 2011, DPR hanya mampu 18 UU dari target 93 RUU prioritas. Sedangkan pada 2012 hanya 10 RUU dari target 64 RUU prioritas.

Inikah buah reformasi yang digadang-gadang bakal menyejahterakan rakyat dan bangsa Indonesia? Inikah yang diharapkan dari demokrasi? Ketika melintas di jalur Pantura, tiba-tiba pandangan  saya menabrak “Piye le, masih anak zamanku,tho...?” Yakin? [*]

Jakarta, 16 Mei 2o14

Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun