Mohon tunggu...
Edy Ariansyah
Edy Ariansyah Mohon Tunggu... Profesional -

Warga Negara Indonesia. Penggiat di Korps Muda Pecinta Alam dan Sosial (KOMPAS) Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Sosok Artikel Utama featured

Pasangan Calon Tunggal, Aklamasi atau Lawan Kotak Kosong?

30 Juli 2015   19:51 Diperbarui: 27 Juni 2018   16:36 4757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebab, indikator lain untuk mengukur derajat akseptabilitas politik atas pasangan calon terpilih yaitu banyaknya suara warga negara yang dikonversi dengan cara pemungutan dan penghitungan suara. 

Kedua, aklamasi minus akseptabilitas politik warga negara memungkinkan tingginya resistensi warga negara atas kebijakan politik dan/atau aktivitas pemimpin politik (kepala daerah) nantinya dalam menyelenggarakan pemerintahan. Namun, kemungkinan ini dapat diminimalisasi jika pemimpin politik tersebut memiliki kapabilitas dalam menyelenggarakan pemerintahan.

Lawan 'Kotak Kosong'

Selain alternatif aklamasi, pemerintah dan legislatif dapat mempertimbangkan pengaturan terkait pasangan calon tunggal melawan 'kotak kosong' melalui mekanisme dan tahapan pemungutan dan penghitungan suara. 

Tahapan pemilihan cenderung lebih banyak dibanding aklamasi, dan cenderung berkurang dibanding tahapan dalam ketentuan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2015. Biaya penyelenggaraan lebih banyak dibanding alternatif aklamasi dan berkurang dari biaya pelaksanaan seluruh tahapan.

Menariknya adalah pasangan calon tidak langsung begitu saja ditetapkan sebagai yang terpilih. Tetapi, diperlukan uji akseptabilitas politik warga negara. 

Apakah pasangan calon bersangkutan lebih tinggi mendapat akseptabilitas politik warga negara atau sebaliknya. Warga negara diberi ruang partisipasi untuk menentukan pilihannya, yaitu antara pasangan calon tunggal atau kotak kosong.

Persoalan lebih lanjut adalah ketika 'kotak kosong' mendapat perolehan suara lebih tinggi atas pasangan calon maka dibutuhkan biaya, waktu, dan tenaga serta mekanisme lanjutan untuk mewujudkan pemimpin politik (kepala daerah) di daerah tersebut. 

Sebaliknya, ketika pasangan calon tunggal mendapat perolehan suara lebih banyak atas 'kotak kosong' mendeskripsikan akseptabilitas politik warga negara.

Kedua alternatif pilihan di atas, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan untuk pijakan dalam menentukan sikap bagi pemerintah dan legislatif dalam menyusun pengaturan antisipatif. 

Aspek efektifitas, efisiensi, partisipatif, akuntabilitas, transparansi, dan kapabilitas serta penegakkan hukum dijadikan spirit bagi pemerintah dan legislatif dalam menyikapi potensi persoalan ini. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati?

Martapura, 25 Juli 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun