Mohon tunggu...
Edwison Setya Firmana
Edwison Setya Firmana Mohon Tunggu... Administrasi - as simple as es puter

belajar berbagi lewat tulisan dan gambar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dialektika Dian Sastro dan Nadya Valerie: RUU KUHP di Mata Dua Perempuan (dan Kita Semua)

30 September 2019   11:23 Diperbarui: 18 April 2020   21:50 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hingga akhirnya di Sabtu (28/09) pagi saya menemukan pos Nana di instastorynya. Nana secara gamblang menjelaskan tentang isu-isu yang dipermasalahkan. Tentang aborsi pada korban perkosaan, Dian Sastro sekadar menampilkan tangkapan layar pasal 470 dan 480 yang diikuti dengan beberapa halaman berbunyi (1) Menurut kamu gimana, (2) Hukum ini akan mengikat kita sebagai warga negara, (3) Saya dan teman-teman membaca.. dan ya, kami akan membaca dan membaca lagi, (4) Karena lebih baik kita merasa bodoh, dan terus belajar.. daripada sudah merasa tau semuanya, (5) Lalu kalo memang ada lampiran penjelasan lebih lanjut terkait KUHP tersebut, mohon disosialisasikan ke masyarakat dengan lebih baik beserta rujukannya, dan (6) Sekian dan terimakasih.

Sementara itu, Nana menjelaskan bahwa kita jangan melihat satu masalah dari satu rujukan. Tentang aborsi pada korban perkosaan, Nana menyebut bahwa ada UU lain yang mengatur hal itu, yaitu UU Kesehatan, Pasal 75 ayat (2) huruf b menyatakan bahwa larangan aborsi dikecualikan bagi kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Dengan penjelasan singkat dan lugas, Nana menggugurkan pendapat Dian Sastro dan jutaan orang yang sependapat dengannya.

Saya belajar banyak dari cara dialektika Nana dan Dian. Pertama, dari Nana, saya belajar untuk melihat suatu masalah dari banyak sudut pandang. Saya awam tentang hukum pidana. 

Bahwa hukum pidana tidak cukup untuk mengatur segala hal sehingga kita harus melihat UU lain. Soal aborsi tadi menjadi contohnya. Lex specialis derogat legi generali alias asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).

Kedua, dari posnya Dian Sastro, saya belajar bahwa membahas suatu hal tidak cukup bermodal screenshoot alias tangkapan layar. Apalagi Dian tidak menyuarakan apa-apa dari tangkapan layarnya. Cinta hanya bilang "menurut kamu gimana?" sehingga seolah-olah kita sudah berada di level pemahaman yang sama dengan dia. 

Maksudnya Dian Sastro "menurut saya gimana itu" gimana? Jujur saya bingung. Kalau misal Dian menulis secara lugas seperti Nana menulis, walau cuma di instastory, maka saya akan tercerahkan. Menulis secara lugas, jelas apa yang dikritisi adalah penting.

Tapi itulah Indonesia. Ketimbang menuangkan buah pikirannya dalam suatu tulisan yang utuh, sebagian besar dari kita cenderung mengandalkan medsos 140 karakter, instastory, dan jawaban singkat ke wartawan. Contohnya ya respon Yasonna terhadap ucapan Dian. Apakah Yasonna membaca kritikan Dian? 

Jangan-jangan tidak karena Dian menuliskannya pun tidak. Dian sekadar pos copasan tulisan orang di instastory. Lalu wartawan bertanya ke Yasonna tentang perkataan Dian. Lalu Yasonna sekadar merespon, lalu menjadi berita, lalu Dian merespon dengan sederet instastory lagi.

Si A membenci si B karena wartawan bilang ke A bahwa si B begini. Lalu Si A mengatakan si B wakwaw kepada wartawan. Wartawan menuliskannya di berita, lalu si B mengatakan si A wokwow. Dialektika seperti apa yang kita harapkan dari kejadian macam ini?

Ketiga, saya belajar untuk mencari sumber kredibel tentang suatu masalah. Kredibel berarti sumber itu dapat mempertanggung jawabkan isi tulisan atau ucapannya. 

Tentang RUU KUHP ini, saya berharap ada orang yang bisa mengritisi hal-hal yang dianggap kontroversi. Tangkapan layar yang Dian Sastro unggah di instastorynya yang berbunyi "Ayam peliharaan masuk dan makan di kebun orang denda Rp 10 juta" menunjukkan bahwa bahkan pers pun bisa terlalu naif memaknai kalimat hukum. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun