Mohon tunggu...
Edwison Setya Firmana
Edwison Setya Firmana Mohon Tunggu... Administrasi - as simple as es puter

belajar berbagi lewat tulisan dan gambar

Selanjutnya

Tutup

Money

Mungkinkah Mempercepat Proses Perijinan Perikanan?

9 Februari 2019   04:08 Diperbarui: 11 Februari 2019   11:43 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Ketika bertemu nelayan dalam penyerahan Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) di Istana Negara (30/1), Presiden Joko Widodo menyoroti proses perijinan perikanan yang masih memakan waktu lebih dari satu minggu. Dia mencontohkan dia pernah mengurus ijin yang selesai hanya hitungan jam. "Jaman IT kok perijinan bisa lama," ucap Presiden di hadapan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti beserta jajarannya dan para Pemilik Kapal penangkap ikan.

Sebetulnya proses perijinan perikanan tidak semua memakan waktu berbulan-bulan. Ada yang cukup seminggu, sebagaimana kesaksian Suwarto, Pemilik Kapal yang ditanyai Presiden di kesempatan itu. Lalu apa yang membuat durasi perijinan berbeda-beda?

Dirjen Perikanan Tangkap Zulficar Mochtar menyebutkan bahwa selama ini Laporan Kegiatan Penangkapan (LKP) sebagai syarat pembaruan SIPI dan Laporan Kegiatan Usaha sebagai syarat pembaruan SIUP disampaikan oleh Pemilik Kapal dengan isi laporan yang tidak benar. Mereka diduga melaporkan produksi jauh di bawah angka produksi sebenarnya. Hal ini diklaimnya berpengaruh terhadap kelestarian sumber daya ikan dan pendapatan negara melalui pendapatan negara bukan pajak dan pajak.

Sehingga Zulficar Mochtar beserta jajarannya di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) harus memanggil para Pemilik Kapal dalam proses telaah kembali (review) perijinan kapal penangkap ikan. Proses inilah yang memakan waktu hingga berbulan-bulan karena jumlah kapal berijin pusat, yaitu kapal berukuran lebih dari 30 Gross Ton (GT) harus menyampaikan ijinnya ke Pemerintah Pusat dalam hal ini adalah KKP, berjumlah setidaknya empat ribuan kapal.

Bagaimana Kerugian Negara dari Pelaporan Kurang?

Mari kita mencari gambaran berapa besar potensi kerugian negara dari pelaporan produksi yang kurang dari angka sebenarnya. Contoh sederhananya, misalnya stok kelompok ikan pelagis besar di Barat Sumatra sebesar 364.830 ton. Dengan pendekatan kehati-hatian, maka 80% dari stok tersebut dijadikan Jumlah Tangkap Diperbolehkan (JTB) alias sebesar 291.864 ton ikan pelagis besar boleh ditangkap dalam setahun. Andai ada 600 kapal di sepanjang pantai barat Sumatra mengeksploitasi ikan pelagis besar dengan alat rawai tuna dan pukat cincin pelagis besar, dan mereka melaporkan dalam LKPnya masing-masing 90 ton setahun, maka ada 54.000 ton ikan tertangkap dalam setahun di perairan itu. Merujuk pada JTB sebesar 291.864 ton, maka ada sisa kuota sebesar 237.864 ton.

Laporan sebesar 90 ton setahun di LKP itu dianggap terlalu rendah karena tidak sebanding dengan biaya operasional. Misal tangkapan mereka sebetulnya mencapai 250 ton, maka total produksi ikan pelagis besar dari 600 kapal adalah sebesar 150.000 ton, dan sisa kuota adalah hanya sebesar 141.864 ton.

Bandingkan sisa kuota berdasarkan LKP sebesar 237.864 ton. Ada selisih hampir 100.000 ton! Bila Menteri membuka keran ijin untuk "sisa" sebesar 237.864 ton padahal sisa sebenarnya hanya 141.864 ton, maka hasilnya adalah krisis ikan pelagis besar di periode berikutnya. Ini adalah kerugian ekologis yang sangat serius.

Bagaimana dengan kerugian ekonomi? Bila rata-rata harga ikan pelagis besar di tingkat nelayan adalah sebesar Rp 30.000 per kilogram, maka menurut LKP, pendapatan sebuah kapal dengan menangkap 90 ton adalah Rp 2,7 milyar setahun. Sedangkan penangkapan sesungguhnya sebesar 250 ton menghasilkan Rp 7,5 miliar! Ada Rp 4,8 milyar yang tidak dilaporkan dari satu kapal, sedangkan ada 600 kapal serupa yang melaporkan jauh di bawah angka tangkapan sebenarnya.

Hitung-hitungan di atas memang sangat kasar untuk memberi gambaran sederhana tentang kerugian negara dari sisi ekologi dan ekonomi akibat laporan lebih rendah daripada produksi yang sebenarnya. Pelaporan semacam inilah yang hendak dibenahi Susi Pudjiastuti, Zulficar Mochtar, dan jajarannya.

Memanggil pemilik seribuan kapal yang SIPI-nya mati dalam periode beberapa bulan tentu bukan pekerjaan mudah. Penelaahan kepatuhan Pemilik Kapal, salah satunya dengan menilai pelaporan produksi, adalah hal penting. Namun demikian, permintaan Presiden Joko Widodo untuk memepercepat proses perijinan juga harus diperhatikan karena perijinan menentukan kelancaran usaha dan pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Membangun Sistem Penilaian Kepatuhan Kapal Penangkap Ikan

Hal yang perlu dibenahi oleh KKP saat ini adalah menemukan mekanisme yang dapat menilai kepatuhan Pemilik Kapal dalam pelaporan hasil usahanya secara cepat. LKU dan LKP yang selama ini menjadi sumber kemacetan pembaruan ijin karena harus ditelaah ulang, sejatinya adalah akumulasi laporan hasil penangkapan ikan yang seharusnya tercermin di Log Book Penangkapan Ikan (LBPI). 

LBPI adalah catatan harian nakhoda atas operasi penangkapannya dan datanya meliputi identitas kapal, keterangan tempat dan waktu keberangkatan dan kepulangan, dan tawur (setting) alat penangkapan ikan. Tentang tawur alat penangkapan ikan, hal yang dicatat adalah waktu dan lokasi geografis penangkapan ikan, dan hasil tangkapannya untuk setiap kali tawur. Informasi tentang satu tawur diisi di satu baris. Sehingga, bila suatu kapal berlayar sebut saja selama 60 hari dan melakukan 40 tawur, maka LBPI seharusnya terdiri dari 40 baris informasi waktu, posisi, dan hasil penangkapan ikan.

LBPI adalah hal wajib untuk nakhoda isi. Kemudian LBPI diserahkan kepada syahbandar untuk diverifikasi dan dimasukkan ke dalam Sistem Informasi Logbook Penangkapan Ikan (Silopi). Silopi sesungguhnya adalah satu dari beberapa aplikasi pengelolaan perikanan yang dikembangkan DJPT sejak 2012 dalam satu payung Database Sharing System (DSS). Sebuah sistem yang secara cerdas mengintegrasikan seluruh aplikasi lingkup pengelolaan perikanan tangkap, antara lain Silopi, Sistem Informasi Perijinan Kapal Perikanan (Sipepi), Sistem Informasi Kapal dan Alat Penangkapan Ikan (Sipalka), Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan (PIPP) dan Vessel Monitoring System (VMS). Kecuali VMS yang dikelola oleh Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, sistem informasi yang disebut dikelola oleh DJPT.

DSS mengintegrasikan data dasar yang dibutuhkan dalam mengelola pemanfaatan sumber daya ikan, yaitu kapal penangkapan ikan dan pengangkut ikan. Setiap kapal penangkapan ikan memiliki Nomor SIPI yang tersimpan di Sipepi. Dari Nomor SIPI di Sipepi inilah seluruh aplikasi pengelolaan dalam DSS bekerja. Sipepi adalah aplikasi di mana Pemilik Kapal mengajukan dan membarui ijin kapalnya. Silopi menarik data Nomor SIPI untuk identitas kapal yang mengisi LBPI. VMS menarik data Nomor SIPI untuk mengidentifikasi pergerakan kapal penangkap ikan. Dengan demikian, setiap aplikasi tersebut tidak perlu mengisi secara manual nomor SIPI setiap kapal yang akan dikelolanya.

Saat akan membarui SIPI, Pemilik Kapal mengajukan LKP melalui akunnya di Sipepi dan secara otomatis Sipepi dapat menarik data LBPI kapal tersebut selama setahun untuk dibandingkan. Sipepi juga dapat menarik data pendaratan ikan dari kapal tersebut yang dicatat di PIPP. Sipepi kemudian menyandingkan data produksi kapal tersebut menurut LKP, LBPI, dan PIPP. Bila terdapat ketidaksesuaian yang signifikan atau pelanggaran lain, misalnya temuan penangkapan ikan di wilayah yang tidak sesuai ijin, Sipepi dapat memberi rekomendasi Dirjen Perikanan Tangkap untuk mengambil tindakan, mulai dari menegur Pemilik Kapal untuk memperbaiki data LKPnya hingga membekukan SIPInya.

Bila sistem ini telah terbangun dan Pemilik Kapal dapat menyediakan dokumennya secara benar, proses pembaruan ijin seharusnya cukup dalam hitungan jam. Namun proses ini tetap akan memakan waktu bila terdapat temuan. Dengan demikian, menjawab permintaan Jokowi agar proses perijinan dipercepat, butuh kemauan semua pihak untuk membuatnya menjadi nyata. Pemerintah, dalam hal ini KKP, menyediakan media berbasis teknologi agar alur data lebih cepat dan aman. Pemilik Kapal menyampaikan hasil usahanya secara terbuka dan jujur. Dengan demikian, tidak hanya proses perijinan yang cepat yang diraih, tetapi juga pemanfaatan sumber daya ikan yang lestari karena Menteri dapat menentukan kebijakannya dari data yang benar dan disampaikan dengan jujur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun