Bila kita berjalan-jalan ke Yogyakarta, misalnya ke kawasan kampus di Bulaksumur atau Babarsari, Sleman, kita akan melihat sebuah saluran air yang mengalir dari barat ke timur. Saluran air mirip kali yang hanya selebar sekitar dua meter tersebut bisa kita lihat tepat misalnya di depan warung makan SGPC yang kesohor itu. Itu adalah Selokan Mataram yang memiliki nilai sejarah dan berperan penting bagi pertanian Yogyakarta.
Sejarah – Dari Legenda hingga Penyelamat Rakyat
Selokan Mataram adalah salah satu saluran air buatan dalam Jaringan Saluran Induk Mataram (JSIM). Selain Selokan Mataram, JSIM juga terdiri atas Saluran Induk Karang Talun (3 km) dan Saluran Van der Wicjk (17 km). Seperti namanya, ketiga saluran ini adalah saluran induk yang dibuat untuk mengairi lahan pertanian terutama di bagian utara Yogyakarta agar dapat berproduksi sepanjang tahun. Dari saluran-saluran induk tersebut, petani membuat saluran-saluran kecil yang mengalirkan air irigasi menuju sawah dan ladang mereka.
Sebelum saluran-saluran tersebut dibangun, Yogyakarta adalah kawasan gersang dengan hasil pertanian yang sangat minim. Pengairan lahan pertanian di masa itu hanya mengandalkan air hujan karena minimnya sumber air alami. Sungai dan kali yang membelah kawasan inti Kerajaan Mataram saat itu, seperti Kali Code, Kali Gajah Wong dan Kali Winongo, sulit diandalkan. Salah satunya adalah karena umumnya bentuk kali yang curam. Posisi aliran air seolah di dasar jurang aliran sungai, padahal kawasan dataran yang memungkinkan untuk dijadikan lahan pertanian berada jauh di atasnya.
Pemerintah Kerajaan Belanda yang menguasai Tanah Air di masa itu membangun saluran Van der Wicjk pada tahun 1909 di kawasan yang saat ini masuk ke dalam Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman. Saluran Van der Wicjk dibangun untuk mengairi lahan perkebunan tebu sebagai penunjang industri gula di kawasan Madukismo, Kabupaten Bantul. Keberadaan saluran ini tidak banyak membantu masyarakat petani Yogyakarta yang berlokasi jauh dari saluran tersebut. Sebagian besar lahan pertanian di Yogyakarta saat itu masih bersifat tadah hujan.
Jepang yang berhasil mengalahkan pendudukan Belanda di Indonesia pada pertengahan 1940an pun mulai membangun berbagai infrastruktur yang dapat menunjang kebutuhan perang yang sedang panas-panasnya melawan Amerika Serikat saat itu. Kita mengenalnya sebagai kerja paksa yang pekerjanya disebut Romusa.
Kebijakan kerja paksa oleh Jepang diterapkan di seluruh kawasan jajahannya di Tanah Air, termasuk Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Raja Mataram (Yogyakarta) saat itu pun berpikir keras agar rakyatnya terlindungi dari kebijakan pengiriman rakyatnya sebagai romusa di luar area kekuasaan kerajaan. Sekalipun harus bekerja paksa, setidaknya dilakukan di kawasan kerajaan Yogyakarta dan hasilnya dapat dirasakan oleh rakyat.
Mungkin karena teringat oleh petuah Sunan Kalijaga bahwa Kerajaan Mataram akan sejahtera bila Kali Progo di Barat disatukan dengan Kali Opak di Timur, maka tercetus oleh Sri Sultan untuk membangun saluran yang menghubungkan kedua sungai tersebut. Ide tersebut diterima oleh Jepang karena dianggap dapat menjadi saluran irigasi yang mendukung peningkatan produksi pertanian sehingga mampu menunjang kebutuhan logistik selama peperangan. Di masa pendudukan Jepang, Selokan Mataram yang membentang sepanjang sekitar 31,2 km tersebut dibangun dan lebih dikenal sebagai Kanal Yoshiro. Namun lambat laun, masyarakat menyebutnya sebagai Selokan Mataram seperti yang kita kenal sekarang.
[caption id="attachment_154932" align="aligncenter" width="541" caption="Salah satu saluran keluar dari Selokan Mataram menuju lahan pertanian di Sleman."][/caption] Keberadaan Selokan Mataram yang membelah sisi utara Yogyakarta dari barat ke timur tersebut terbukti mampu menunjang kegiatan pertanian hingga bisa berproduksi berkali-kali lipat dibanding masa sebelumnya. Peningkatan produksi ini terjadi karena lahan dapat ditanami sepanjang tahun. Produksi padi dan sayur yang meningkat turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tidak hanya petani, kesejahteraan juga dinikmati para pedagang karena kesinambungan hasil pertanian tersebut menjanjikan. Kemakmuran seperti efek domino yang menggerakkan roda ekonomi di sektor lainnya. Kota Yogyakarta dan sekitarnya pun tumbuh semakin maju dan sibuk.
Perkembangan Kota dan Tekanan Peradaban
Dalam perkembangannya, Kota Yogyakarta dan sekitarnya mengalami pertumbuhan penduduk. Dengan predikat sebagai Kota Pendidikan, Kota Yogyakarta dan sekitarnya pun menjadi ladang subur pertumbuhan sekolah berbagai bidang studi. Salah satu pusat pertumbuhan sekolah dan perguruan tinggi adalah di perbatasan belahan utara Kota Yogyakarta dan belahan selatan Kabupaten Sleman.
[caption id="attachment_154933" align="aligncenter" width="652" caption="Selokan Mataram melintasi Bulaksumur."]
Masuknya ribuan pendatang dari berbagai latar belakang budaya dan pertumbuhan ekonomi masyarakat di luar sektor pertanian membuat keberadaan Selokan Mataram terpinggirkan. Bahkan, seperti ciri masyarakat urban di berbagai kota yang bertumbuh di negara berkembang dan negara miskin lainnya, Selokan Mataram di Yogyakarta dianggap tidak lebih sebagai sekadar tempat sampah. Hal ini dapat dibuktikan dengan pengamatan di ruas Selokan Mataram yang diimpit oleh kelompok masyarakat yang sedang bertumbuh tersebut, yaitu mulai dari sisi barat Jalan Raya Magelang hingga bagian paling timur Jalan Lingkar (Ring Road) Utara. Di ruas inilah pertumbuhan kaum urban paling terlihat, begitu pun dampaknya pada Selokan Mataram dan sungai-sungai alaminya seperti Kali Winongo, Kali Code dan Kali Gajah Wong. Sampah plastik dan potongan styrofoam kerap ditemukan mengambang di aliran air cokelat pekat.
[caption id="attachment_154934" align="aligncenter" width="571" caption="Selokan Mataram di Seturan. Banyak usaha tumbuh di tepi selokan terutama di kawasan kampus."]
Kondisi Selokan Mataram saat ini adalah gambaran ironi sebuah saluran irigasi utama di negeri yang mematut dirinya sebagai negara agraris yang gemah ripah loh jinawi. Kualitas air yang mengalir di Selokan Mataram diakui para petani telah berubah. Seperti dikutip harian Kompas (26/05/2010), para petani mengaku tanaman padi mereka saat ini lebih rentan terhadap hama penyakit dan hasil panen per hektar lebih rendah dibanding di masa lalu. Lebih menyedihkan lagi karena kaki petani kadang terluka oleh pecahan kaca dari botol-botol minuman yang hanyut dibuang di aliran Selokan Mataram.
Walau belum ada penelitian terhadap kualitas air selokan, namun bila melihat pencemarannya oleh rumah tangga dan usaha masyarakat serta penurunan kualitas padi, maka kita dapat mencari hubungan antara keduanya cukup dengan logika sederhana. Kualitas tanaman akan menurun bila diberi pengairan dari irigasi yang tercemar deterjen, limbah rumah tangga dan bahan pencemar lain.
Memelihara Selokan Mataram bukan hanya untuk memelihara sejarah bahwa Sultan Hamengku Buwono IX berhasil mengindari rakyatnya dari kerja paksa Jepang yang terkenal sangat kejam itu. Memelihara Selokan Mataram berarti menjamin keberlanjutan pertanian Yogyakarta yang juga berarti memelihara kehidupan penduduk Yogyakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H