Mohon tunggu...
Edwi
Edwi Mohon Tunggu... -

Simply want to share humble opinion

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Kompetisi Profesional untuk Industrialisasi Sepakbola Nasional, Mungkinkah?

3 Juli 2013   20:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:03 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Saya sangat kesulitan "menikmati" atmosfer sepakbola di negeri ini.

Mengapa? Sederhana saja. Karena saya selalu menjadikan atmosfer sepakbola internasional (khususnya Eropa) sebagai "standar" saya dalam menikmati sepakbola. Memang, perbandingan ini sebenarnya kurang fair, di mana sepakbola Eropa sudah jauh meninggalkan sepakbola nasional dari segi kualitas. Namun, justru dengan perbandingan tersebut, saya jadi punya pertanyaan yang cukup menggelitik: "apa bedanya sepakbola kita dengan sepakbola internasional?"

Setelah berpikir cukup lama, akhirnya saya menemukan sebuah kesimpulan terhadap pertanyaan tersebut. Perbedaan sepakbola kita dengan sepakbola internasional, khususnya Eropa terletak pada hal yang sangat fundamental: sepakbola Eropa telah ter"industrialisasi" dengan baik. Sepakbola kita malah belum layak dikatakan sebagai sebuah "industri".

Apa sih yang dimaksud dengan "industrialisasi sepakbola"? Bahasa gampangnya: membuat sepakbola menjadi bisnis yang menguntungkan. Industrialisasi adalah hal yang fundamental dalam sepakbola modern. Industries make bussiness. Bussiness make money. Money make facilities. Hal yang sama berlaku dalam sepakbola. Industri sepakbola menghasilkan duit, yang nantinya akan dipakai untuk memfasilitasi sepakbola itu sendiri. Klub-klub Eropa macam Manchester United tidak bisa membangun Old Trafford atau membayar pemain dengan APBD. Mereka mendapatkan dana dengan menjadikan diri sebagai komoditas bisnis. Caranya? Ikut berkompetisi secara profesional di Liga yang profesional. Menjadi juara. Menjaring penggemar. Setelah penggemar banyak, tinggal menunggu pihak-pihak sponsor berdatangan, menawarkan dana ratusan juta untuk sekedar menempelkan logo perusahaan mereka ke jersey MU.

Tentu saja tidak mudah untuk membangun industri sepakbola. Untuk melakukannya, sepakbola harus diperlakukan sebagai 'bisnis' yang sesungguhnya. Dalam bisnis, ada satu etos yang harus selalu diperhatikan, yaitu profesionalisme. Lihat lagi sepakbola Eropa. Sebagai wujud profesionalisme, mayoritas klub-klub Eropa telah berdiri sebagai perusahaan go public dengan saham yang bisa diperjualbelikan secara umum. Klub menjadi sebuah perusahaan yang memiliki hak dan kewajiban terhadap pemilik saham, dengan pemain serta pelatih menjadi 'karyawan'-nya. Ada kontrak berkekuatan hukum yang harus dipatuhi oleh pemilik saham, klub dan pemain.

Apa dampaknya? Industri dan bisnis selalu bersifat kompetitif. Pemilik saham tentu saja menginginkan klubnya berprestasi dibandingkan klub lainnya. Maka, klub akan jor-joran membangun tim yang kompetitif di liga yang diikutinya. Pemain/pelatih yang menjanjikan dikontrak, sedangkan yang tidak kompeten disingkirkan. Kejam, memang. Tapi justru karena tekanan bisnis tersebut, kita bisa menikmati sepakbola Eropa yang sangat kompetitif dan berkualitas. Persaingan antar klub untuk menjadi yang terbaik menyuguhkan semangat sportifitas yang tentu saja menarik untuk disaksikan.

Bukan hanya klub yang harus profesional, tapi kompetisi yang menaungi klub-klub tersebut juga harus sama profesionalnya. Industri sepakbola hanya bisa "jalan" jika ada yang menontonnya. Banyaknya penonton akan meyakinkan sponsor untuk mempromosikan diri mereka lewat sepakbola. Makanya, kompetisi sepakbola harus dikemas secara menarik dan dikelola secara profesional. Lihat Barclays Premiere League di Inggris. Karena liga tersebut dikemas secara menarik dan profesional, banyak yang bersedia menyia-nyiakan malam minggu mereka bersama kekasih hanya demi menonton klub kesayangannya main di BPL.

Lho, bukannya di Indonesia juga begitu?

Konsepnya sih, begitu. Praktiknya?

Klub pontang-panting cari sponsor, susah payah menyediakan akomodasi untuk bertanding, dan seret bayar gaji pemain. bahkan kadang-kadang ada yang harus WO karena tidak punya dana untuk bertanding. Liga Nasional juga mendapat rating yang lebih rendah dibandingkan sinetron-sinetron di TV.

Mengapa? Karena segalanya di industri sepakbola kita tidak dikelola secara profesional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun