Belakangan ini, topik tentang kembalinya Ujian Nasional (UN) sering jadi perdebatan. Wacana kembalinya UN kembali digaungkan oleh sebagian kalangan yang masih menganggap angka sebagai penentu kesuksesan, termasuk mereka yang melihat perubahan kabinet ini sebagai kesempatan emas untuk menghidupkan kembali penilaian berbasis angka. Mereka yakin bahwa standar angka memberikan kepastian dan kejelasan dalam menilai kemajuan. Namun, pandangan ini, meskipun dilandasi niat baik, menantang kita untuk mempertanyakan, apakah ukuran angka benar-benar mampu menangkap seluruh esensi pendidikan?
Jika kita merujuk pada tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam undang-undang, kita akan menyadari bahwa pendidikan sejatinya bertujuan untuk membentuk manusia yang utuh, bukan sekadar mengejar angka atau nilai. Tujuan ini mencakup berbagai aspek penting dalam pengembangan diri, termasuk karakter, kognitif, dan psikomotor, yang saling mendukung untuk menciptakan individu yang seimbang secara intelektual, moral, dan fisik. Landasan pendidikan nasional Indonesia mengarahkan pendidikan pada pembentukan manusia yang utuh, bukan sekadar angka. Hal ini tercermin dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 3, yang menegaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, Â bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dari Landasan Pendidikan Nasional ini, kita bisa melihat tujuan pendidikan nasional yang mencakup beberapa aspek pengembangan diri, yaitu aspek karakter, kognitif, dan psikomotor.
1. Aspek Karakter
Pendidikan bertujuan membentuk karakter yang mencakup nilai-nilai:
-Beriman dan Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
Membentuk keimanan dan ketakwaan sebagai landasan spiritual yang mendorong setiap tindakan sesuai dengan nilai-nilai agama.
-Berakhlak Mulia
Menjunjung tinggi nilai-nilai adab dan akhlak, seperti kejujuran, kebaikan, dan kasih sayang, yang merupakan fondasi dalam berinteraksi dengan orang lain.
-Mandiri
Karakter yang membentuk pribadi yang mampu bertindak dan berpikir secara mandiri, bertanggung jawab, dan tidak bergantung pada orang lain.
-Bertanggung Jawab
Mampu berkontribusi pada masyarakat, dan menyadari peranannya dalam mewujudkan tujuan negara.2. Aspek Kognitif
Pendidikan nasional juga mencakup pengembangan kognitif peserta didik, yaitu:
-Berilmu
Mengembangkan kemampuan akademis dan wawasan yang mendalam dalam berbagai disiplin ilmu, yang mencakup aspek intelektual dan kemampuan berpikir kritis.
-Cakap
Meningkatkan keterampilan berpikir, analisis, dan penyelesaian masalah yang memungkinkan siswa memahami serta menerapkan pengetahuan secara efektif dalam kehidupan nyata.
-Kreatif
Menumbuhkan daya cipta dan inovasi yang mendorong siswa untuk berpikir secara orisinal dan menghasilkan ide-ide baru yang bermanfaat bagi masyarakat.3. Aspek Psikomotor
Pendidikan juga perlu mengembangkan aspek psikomotorik yang mencakup:
-Sehat
Mendorong peserta didik menjaga kesehatan fisik dan mental melalui aktivitas fisik, olahraga, serta gaya hidup yang baik.
-Cakap (juga dapat mencakup keterampilan psikomotorik)
Selain cakap secara kognitif, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan praktis, baik dalam keterampilan manual maupun keterampilan sosial yang melibatkan koordinasi dan kemampuan motorik.Siswa bukanlah sekadar kumpulan angka atau nilai pada kertas ujian, mereka adalah manusia dengan berbagai potensi, minat, serta cara belajar yang berbeda. Pemujaan angka dalam bentuk UN justru mengabaikan realitas ini dan cenderung membebani siswa dengan tekanan yang tidak perlu. Mereka kembali dihadapkan pada pola pikir yang dangkal, di mana mereka dinilai dari seberapa tinggi angka yang bisa dicapai, bukan dari seberapa jauh mereka berkembang secara holistik.
Laporan UNESCO (2015) berjudul "Rethinking Education: Towards a Global Common Good?" berfokus pada pentingnya pendekatan pendidikan yang holistik dan inklusif. Laporan ini menekankan bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya mengejar hasil akademik yang terukur secara kuantitatif, seperti nilai ujian, tetapi juga harus memperhatikan aspek-aspek lain yang mendukung perkembangan manusia secara menyeluruh.
Pemaksaan sistem berbasis angka ini berpotensi menghidupkan kembali kebiasaan yang kurang sehat di kalangan sekolah maupun siswa. Sekolah mungkin akan terdorong untuk fokus pada latihan-latihan soal demi meningkatkan hasil UN, bukan pada pembelajaran yang lebih mendalam dan bermakna. Kecurangan demi angka tinggi bisa saja menjadi masalah laten yang merusak moralitas dan integritas di lingkungan pendidikan. Kembali mengandalkan angka sebagai ukuran utama sesungguhnya menutup mata terhadap kecurangan masif yang pernah terjadi, dan mengingkari bahwa proses belajar adalah perjalanan kompleks yang tidak dapat diringkas dalam bilangan semata.
Fokus yang berlebihan pada angka dalam ujian nasional telah menyebabkan penurunan perhatian terhadap pengembangan karakter siswa, yang seharusnya menjadi bagian integral dari tujuan pendidikan nasional. Ketika hasil ujian menjadi tolok ukur utama, aspek-aspek penting seperti moralitas, empati, dan nilai-nilai agama sering kali terabaikan. Sistem yang hanya menilai siswa berdasarkan angka cenderung tidak memberikan ruang bagi pengembangan keimanan, ketakwaan, dan karakter luhur karena berfokus pada hasil akhir yang terukur secara kuantitatif.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!