Mohon tunggu...
Edwin P. Hartanu
Edwin P. Hartanu Mohon Tunggu... Lainnya - Stroke Survivor / Aneurysm Survivor

Tuhan ingin supaya kita bisa menjadi alat-Nya untuk menyaksikan perbuatan-Nya yang ajaib 📖 Yohanes 9:1-3

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Aktivitas Saya Sebagai Pasca Stroke Setelah Wisuda

21 November 2020   16:17 Diperbarui: 24 November 2020   08:43 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Setelah wisuda di bulan Mei 2005, saya melakukan pemulihan/terapi lagi di Medan. Medan adalah kota tempat perantauan bagi Saya, Mama, dan Papa. Saya sama sekali tidak betah tinggal di Medan setelah saya kuliah di Jakarta. Pertemanan di Jakarta selalu menggunakan bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia.

Karena tidak betah tinggal di Medan, kemudian saya ke Palembang.

images-20-5fbc63eed541df7615474d74.jpeg
images-20-5fbc63eed541df7615474d74.jpeg
Di Palembang saya tinggal di rumah nenek & kakek saya selama tiga bulan. Di sana juga ada saudara Papa saya. Saya merasa sangat dikekang. Banyak peraturan yang menurut saya aneh. Selama tiga bulan saya merasa tidak bebas. Sejak lahir saya memang tinggal bersama Mama dan Papa di rumah itu.

dokpri
dokpri
dokpri
dokpri
Kemudian saya kembali ke Jakarta bersama nenek, kakek, dan tante saya. Kita tinggal di rumah keluarga.

images-24-5fbc641bd541df46276a28e2.jpeg
images-24-5fbc641bd541df46276a28e2.jpeg

Di Jakarta saya menunjukkan kebebasan saya. Sebelum jam 12 siang saya pergi ke tempat usaha teman kuliah saya, Gunanto. Waktu itu Gunanto membuka usaha bengkel motor di Jalan Daan Mogot. Gunanto juga membesuk saya bersama Susan, Babeh, dan Randy beberapa kali waktu saya di opname. Setiap hari saya selalu bersama teman-teman saya. Dan saya pulang ke rumah keluarga saya ketika sudah makan malam. Selama satu bulan saya berada di Jakarta.

Ketika saya mau memesan tiket ke Medan, dan nenek, kakek, serta tante saya pulang ke Palembang, jadi memilih tanggal yang sama dan jam keberangkatannya yang hampir sama juga.

Bagi saya semua hari dan tanggal itu baik, saya hanya percaya kepada Tuhan, saya tidak percaya "feng shui". Kepercayaan setiap orang tidak bisa dipaksakan.

images-25-5fbc64548ede481f85555c02.jpeg
images-25-5fbc64548ede481f85555c02.jpeg
Setelah beberapa bulan saya tinggal di Medan, pada bulan Mei 2006 teman Mama dan Papa menginformasikan bahwa ada lowongan pekerjaan di tempat keponakannya bekerja. Keponakannya bekerja di perusahaan yang cukup terkenal, walaupun itu adalah anak perusahaan. Kebetulan lowongan pekerjaannya di bagian Staf Accounting, sesuai dengan bidang saya waktu kuliah.

Saya melamar pekerjaan di sana karena iseng. Saya maunya bekerja di Jakarta. Begitu juga yang saya katakan ketika saya dipanggil untuk interview. Namun karena saya melamar di cabang Medan, saya akan ditempatkan di Medan dan sekitarnya.

Beberapa hari kemudian saya dipanggil lagi oleh perusahaan itu, sekaligus keputusan saya diterima bekerja di posisi Staf Accounting. Manajer Accounting yang menerima saya tidak mempermasalahkan kondisi fisik saya, walaupun saya kalau mengetik di komputer hanya menggunakan tangan kiri saja.

Saya akan ditempatkan di Desa Karang Gading, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Di sana saya akan tinggal di mess kantor. Staf Accounting berangkat setiap hari Senin dijemput oleh pengemudi dari kantor, dan pulangnya hari Jumat dijemput oleh pengemudi dari kantor juga.

Ini merupakan mukjizat dari Tuhan. Sebagai pasca stroke yang kondisi fisik saya tidak pulih 100%, namun saya bisa diterima bekerja di anak perusahaan yang induknya cukup besar dan terkenal itu. Ini juga pertama kali dan satu-satunya saya melamar pekerjaan, dan langsung diterima.

Waktu mulai bekerja di hari Senin, lima orang Staf Accounting dijemput di rumah masing-masing dengan satu mobil. Waktu sampai di Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat, kita membeli makanan yang dibungkus untuk makan siang. Rata-rata jam 11:00 WIB sampai di Desa Karang Gading, lokasi tempat saya bekerja. Mess dan kantor berada di satu lokasi. Satu mess khusus untuk Accounting termasuk Manajer.

Walaupun hari Senin bekerja dari siang, tapi kita sering lembur. Apalagi lokasinya berada di lingkungan tambak, tidak bisa ke mana-mana, tidak ada kendaraan umum, harus menggunakan kendaraan pribadi jika ingin ke rumah penduduk setempat. Namun ada juga karyawan yang merupakan penduduk dari desa itu. Lokasi saya bekerja berada di pedesaan yang jauh dari rumah penduduk.

Makan malam dan seterusnya sampai makan siang hari Jumat kita disediakan oleh juru masak. Bahan-bahannya dibeli oleh Manajer Accounting dari pasar di Medan. Biayanya dibagi rata antara Manajer dan semua Staf Accounting.

Menurut saya jauh lebih enak makanan di warteg di Jakarta, daripada makanan di Mess Accounting. Nasi setelah dimasak menjadi seperti antara nasi dan bubur. Dibilang nasi tidak seperti nasi, dibilang bubur tidak seperti bubur. Ayam setelah digoreng pun masih kelihatan darah ayamnya. Hanya Manajer Accounting yang makannya lahap, kadang sampai tambah nasi putih. Mungkin istrinya tidak pernah masak, atau tidak bisa masak. Istrinya dulu bekerja di cabang Medan, di grup perusahaan yang sama.

Selama beberapa minggu setelah saya bekerja di situ, saya terasa lapar mulai hari Rabu malam atau Kamis pagi, karena saya hanya makan di hari Senin siang yang dibeli bungkus dari Kecamatan Stabat. Itupun Manajer Accounting bilang tidak boleh beli dengan nasi, soalnya nasi sudah disediakan di mess. Walaupun nasinya seperti antara nasi dan bubur. Padahal berapa harga satu bungkus nasi putih? Dan belinya hanya setiap hari Senin siang.

Kadang sarapan di mess disediakan nasi goreng. Nasi gorengnya biasa masih ada sampai makan siang. Cuma itu yang bisa saya makan, walaupun nasi gorengnya pun tidak enak. Hari Jumat malam ketika sampai di rumah, saya baru bisa makan.

Mama jadi membawakan nasi goreng untuk dimakan di hari Senin malam. Hari Selasa hingga Jumat siang saya hanya makan mie instant. Lagi-lagi Manajer Accounting bilang, "pantesan persediaan mie instant cepat habis". Padahal menurut saya, walaupun jadi lebih sering membeli mie instant, tetapi membeli bahan makanan yang untuk dimasak bisa dikurangin, karena saya tidak makan makanan yang dimasak. Disediakan nasi gorengnya pun hanya satu kali dalam satu minggu.

Karena tidak boleh makan mie instant setiap hari, atau tidak disediakan lagi mie instant, jadi Mama membawakan beberapa burger dari rumah. Burgernya Mama yang membuat sendiri. Walaupun hingga hari Kamis burgernya sampai ada warna putih-putih seperti jamur, tetap saya makan. Soalnya saya baru bisa makan ketika sampai di rumah hari Jumat malam. Bukannya saya hanya bisa makan makanan yang enak saja, makanan di warteg pun saya suka.

images-26-5fbc64aed541df68d105e5d2.jpeg
images-26-5fbc64aed541df68d105e5d2.jpeg
Pernah Manajer Accounting meminta saya untuk membeli tisu gulung isi 10 di Medan untuk keperluan di Mess Accounting.

images-28-5fbc64d08ede4813e9638554.jpeg
images-28-5fbc64d08ede4813e9638554.jpeg

Setelah saya membeli dan membawa tisu itu ke mess, Manajer Accounting bilang, "kok mahal?". Padahal harga tisu yang biasa dia beli harganya cuma lebih murah 2,000 rupiah. Saya bisa membeli tisu yang harganya lebih murah, tetapi ada biaya bensin dan biaya parkir. Tisu yang sudah saya beli, saya memang tidak melampirkan biaya bensin dan biaya parkir ke dalam pembukuan.

AC di kamar saya di mess yang hawanya tidak dingin lagi, saya minta persetujuan dari Manajer Accounting untuk dilakukan service oleh karyawan sendiri bagian Produksi. Waktu itu sudah bisa saya tebak pasti tidak diizinkan untuk dilakukan service. Walaupun yang akan melakukan service adalah karyawan sendiri. Alasan Manajer Accounting, "tidak ada budget". Karena di daerah tersebut hawanya panas sekali, jadi saya tidur di kamar sebelah. Kapasitas satu kamar seharusnya hanya untuk dua orang. Karena saya tidur di kamar sebelah jadi tiga orang yang tidur di kamar itu.

Manajer Accounting yang seperti ini menurut saya pelit, bukan irit. Mungkin juga dia sentimen dengan saya. Dari masalah satu bungkus nasi putih, masalah mie instant, masalah tisu yang hanya beda harga 2,000 rupiah, dan masalah AC. Yang menerima saya bekerja di sana adalah Manajer Acconting yang lebih tinggi kedudukannya, bukan dia.

Setiap pagi biasa Manajer Accounting yang bangun dan mandi terlebih dahulu. Saya biasa mandi diurutan kedua. Alangkah terkejutnya saya ketika masuk ke kamar mandi, ada "sesuatu" yang tertinggal di dalam kloset. Tidak mungkin Manajer Accounting tersebut tidak mengetahuinya, karena kloset dalam keadaan terbuka. Walaupun memang dia menggunakan kacamata yang tebalnya seperti alas botol kecap, dan dia tidak menggunakan kacamata ketika masuk ke kamar mandi. Sungguh memalukan. Saya tidak mandi diurutan kedua, saya mempersilahkan Staf Accounting yang lain untuk mandi terlebih dahulu, sekaligus menyiram air ke dalam kloset sampai "sesuatu" itu tenggelam.

Dalam bekerja, saya dan satu Staf Accounting yang lain, yang katanya sudah senior, membuat Laporan Keuangan atas satu perusahaan yang merupakan anak perusahaan. Tapi Laporan Keuangan yang kita buat berdua selalu telat dari tanggal deadline. Menurut saya yang katanya sudah senior ini kerjanya lambat dan lelet. Buktinya ketika ada mutasi kerja, dan saya bersama Staf Accounting yang lain yang menangani Laporan Keuangan perusahaan tersebut, laporan kita tidak pernah lewat dari tanggal deadline.

Pernah dua kali di hari Sabtu, Manajer Accounting yang kedudukannya lebih tinggi mengajak para Staf Accounting makan siang di sebuah restoran di Medan.

images-1-5fbc64ee94d5fd6e964fae44.png
images-1-5fbc64ee94d5fd6e964fae44.png

Seperti kebiasaan di Medan pada umumnya, walaupun kita duduk di satu meja bundar, tetapi Manajer dan Staf yang lain tidak menggunakan bahasa nasional, mereka menggunakan bahasa yang tidak saya mengerti. Jadi saya dan satu orang Staf Accounting yang lain, yang tidak mengerti bahasa itu juga, hanya mengobrol berdua, padahal kita semua duduk di satu meja bundar. Begitu juga di kantor.

Padahal bahasa nasional di negara kita adalah bahasa Indonesia, sesuai dengan isi Sumpah Pemuda tahun 1928 alinea ketiga, "...menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia."

Itu merupakan salah satu alasan saya tidak betah tinggal di Medan. Saya, Mama dan Papa bukan berasal dari Medan. Kita berasal dari Palembang. Tinggal di Medan sejak Januari 1993.

Begitu juga saat saya SMP dan SMA di Medan. Selama sekolah saya merasa datar-datar saja. Karena itu saya memilih kuliah di Jakarta.

Selama bekerja di kantor itu, setiap tiga atau empat bulan sekali saya pasti ke Jakarta untuk bertemu dengan teman-teman saya. Bahkan saya pernah berangkat dari Medan hari Sabtu penerbangan pesawat pertama, dan pulang dari Jakarta keesokan harinya, hari Minggu, penerbangan pesawat terakhir. Hanya untuk menonton film James Bond 007, Casino Royale, di bioskop bersama teman-teman.

Kerena sudah jenuh, bosan, dan dari awal saya tidak betah tinggal di Medan, maka saya mengajukan surat penguduran diri pada awal bulan Juli 2007. Pengunduran diri saya disetujui pada tanggal 27 Juli 2007.

Saya diminta untuk dibetah-betahin tinggal di Madan oleh tante saya. Gimana caranya coba?

Selama bekerja jasmani saya memang ada di Medan, tetapi pikiran saya selalu berada di Jakarta.

Saya pamit dengan Manajer Accounting yang di Medan, yang dulu memanggil saya untuk interview. Saya sengaja tidak pamit dengan Manajer Accounting di tempat saya bekerja, lagian dia sedang tugas ke provinsi yang berbeda. Selama bekerja saya hanya sedikit berkomunikasi dengan dia, hanya berkomunikasi seperlunya saja. Begitu juga dengan beberapa orang Staf Accounting. Bukan saya yang tidak bisa berteman dan bergaul, tetapi memang bawaan mereka seperti itu, hanya suka mengobrol dengan orang yang mengerti bahasanya, padahal dia juga WNI, dan tinggal di NKRI.

Saya memang tidak betah tinggal di Medan karena mayoritas bukan menggunakan bahasa Indonesia, sekalipun di tempat umum. Misalnya di kantor, ataupun di dalam mobil, walaupun di dalam mobil itu ada orang yang tidak mengerti bahasanya. Saya seperti warga negara asing jika tinggal di Medan. Sudah kebudayaan mereka seperti itu, walaupun kita sama-sama tinggal di NKRI.

Tanggal 30 Juli 2007 saya kembali ke Jakarta. Tinggal di tempat kos yang dulu waktu saya kuliah. Dan saya jarang pulang ke Medan lagi. Beberapa tahun sekali saya masih suka ke Medan karena Mama dan Papa saya masih tinggal di sana. Kadang saya janji ketemu dengan Mama dan Papa di negara tetangga.

Kemudian saya mendapatkan informasi dari sesama Staf Accounting, bahwa setelah saya mengundurkan diri, AC di kamar saya di mess yang hawanya tidak dingin lagi sudah dilakukan service. Hahaha..

Aktivitas saya selanjutnya di Jakarta….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun