Mohon tunggu...
Edwin Dewayana
Edwin Dewayana Mohon Tunggu... -

.......... menyingkap fenomena di balik setiap peristiwa .........

Selanjutnya

Tutup

Money

Bensin Premium Non Subsidi Rp 10.000, Bisa Menghitung Nggak Sih?

1 Mei 2013   07:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:19 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Berita yang sedang ramai di media adalah pernyataan pejabat yang mengatakan harga keekonomian bensin premium non subsidi Rp 10.000 per liter. Harga ini lebih mahal daripada bensin RON 92 yang dijual di pasaran Rp 9.500. Waduh ..... bisa menghitung nggak sih? Mana mungkin premium dengan RON 88 harga keekonomiannya lebih mahal daripada RON 92 !

Kalau benar premium lebih mahal, mengapa bensin subsidi tidak diambil dari RON 92 saja? Karena dengan keekonomian premium Rp 10.000 per liter, subsidinya Rp 5.500. Kalau RON 92 yang dipakai sebagai bensin subsidi, maka besaran subsidinya cuma Rp 5.000 per liter. Dengan demikian, penetapan premium sebagai bensin subsidi adalah kebijakan yang salah dong? Dan ini sudah berlangsung puluhan tahun !

Besaran RON atau Research Octane Number bensin yang dijual di pom bensin diperoleh dengan mencampurkan bensin RON tinggi yang mahal dengan nafta yang murah. Makin banyak naftanya, makin murah karena harga nafta lebih murah, Rp 7.000-an per liter. Bagaimana mungkin bensin premium dengan kandungan nafta lebih banyak, harga keekonomiannya lebih mahal? Atau harga yang lebih mahal ini karena proses pencampuran yang memakan ongkos produksi tambahan? Tetap tidak masuk akal juga dengan perbedaan harga Rp 500 per liter itu akan membuat premium lebih mahal kalau tanpa subsidi. Kecuali kalau ada inefisiensi besar-besaran dan pengambilan untung perusahaan yang terlalu besar.

Sungguh tidak masuk akal. Kalau perbandingannya apel terhadap apel, pasti perhitungannya salah. Tapi kalau ada "hidden factor" yang tidak diungkap ke publik, mungkin ada benarnya, meskipun tetap tidak masuk akal.

Waduh .... masa sih menghitung perbandingan harga antara dua produk yang sangat jelas beda kualitasnya saja tidak bisa? Dan memilih bensin subsidi yang seharusnya dipakai saja tidak bisa? Dan saling berkomunikasi untuk menyampaikan hal-hal yang masuk akal saja tidak bisa? Yang paling penting ini : mengambil kebijakan yang masuk akal saja tidak bisa! Waduh .... benarkah ini ciri negeri yang salah kelola, yang gagal menjalankan fungsinya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun