Saat ini masyarakat masih kegagapan menghadapi pandemi Covid-19 gelombang kedua. Pemerintahan dan DPR RI melalui berbagai kebijakan belum fokus menyelamatkan ekonomi dan kesehatan masyarakat Indonesia sekaligus.
Hal tersebut tidak menjadi perhatian dan fokus beberapa partai koalisi pendukung pemerintah. Malah ada upaya untuk membenturkan masyarakat Indonesia, terutama umat Islam dengan dibahasnya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Dimana RUU tersebut menjadikan Pancasila menjadi aturan teknis dan memeras menjadi ekasila yang menghilangkan aspek religius, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sikap penolakan secara terang telah disampaikan oleh ormas Umat Islam sebagai wakil suara umat. Diantaranya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Termasuk sejumlah purnawirawan TNI-Polri yang menyampaikan langsung kepada Presiden Jokowi di Istana Merdeka beberapa waktu yang lalu.
Bersyukur di DPR RI masih terdapat wakil rakyat yang istiqamah menolak RUU HIP. Sejak awal penulis melihat Fraksi Partai Demokrat dengan tegas menarik diri dari pembahasan RUU HIP. Selanjutnya sikap tersebut dilanjutkan dengan tidak menandatangani bukti berita acara terlibat pengesahan RUU HIP.
Menurut hemat penulis, setidaknya ada beberapa alasan penting Partai Demokrat secara resmi sejak awal menolak RUU HIP menjadi Undang-Undang di DPR RI.
Pertama, RUU HIP tidak layak dibahas. Karena Pancasila adalah ideologi dan nilai-nilai yang menyatukan perbedaan anak bangsa Indonesia. Ia menjadi sumber nilai-nilai bagi Undang-Undang dan kebijakan Pemerintah. Sampai saat sekarang, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila telah memberikan arah demokrasi bagi Indonesia dan menjaga persatuan bangsa dari pecah belah oleh ideologi lain.
Kedua, kehadiran RUU HIP menurunkan derajat Pancasila untuk diatur oleh undang-undang. Dimana, Pancasila tidak lagi menjadi sumber nilai-nilai kebangsaan. Malah diturunkan menjadi aturan-aturan teknis yang berpotensi hadirnya monopoli tafsir Pancasila. Kemudian berdampak kepada legitimasi kekuasaan yang anti kritik dan tidak demokratis.
Ketiga, RUU HIP sejak awal telah menghilangkan Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme yang terbukti dalam sejarah merongrong persatuan Indonesia melalui partai PKI dengan sejumlah pemberontakan yang menewaskan banyak masyarakat Indonesia.
Keempat, RUU HIP telah kemarahan dan keresahan dari kalangan umat Islam. RUU HIP seperti menciptakan haluan baru yang bertolak belakang dengan pokok-pokok haluan Pancasila yang telah disepaki para pendiri bangsa.
Kelima, sejak penyusunan RUU HIP tidak memberikan ruang diskursus dan pandangan akademisi, perwakilan ormas dan para ahli dan elemen masyarakat. Namun tiba-tiba menjadi RUU yang memunculkan penolakan besar dan terindikasi menjadi bola liar di akar rumput yang menerima Pancasila secara utuh. Sedangkan substansi dari RUU HIP berpotensi mendorong munculnya konflik ideologi, polarisasi sosial politik, hingga perpecahan bangsa yang lebih besar.
Keenam, adanya upaya memangkas Pancasila menjadi trisila atau ekasila juga jelas bertentangan dengan spirit Pancasila yang merekatkan seluruh elemen bangsa dengan nilai religius.