Malah pihak Simalungun telah menyusun sebuah buku berjudul: “SEJARAH ETNIS SIMALUNGUN” (2012) hasil kerja dari sebuah tim yang mumpuni sebanyak 7 orang tanpa mengunakan kata “Batak” dan “sub-etnik”. Akan halnya dengan GKBP, sebenarnya namanya sejak awal GKP (Gereja Karo Protestan), tetapi oleh pengaruh Belanda dan pendeta Toba serta pendeta-pendeta lulusan Seminari Sipoholon mengakibatkan namanya dirubah menjadi GKBP (Gereja Batak Karo Protestan) pada tahun 1941. Pada waktu itu, Ketua Moderamen GBKP, Pdt. J. van Muylwijk dan Sekretaris Moderamen adalah Guru Lucius Tambun ditetapkan untuk periode 1941-1943. Nama awalnya Gereja Karo Protestan (GKP) membuktikan bahwa mereka memang sejak awal bukan “Batak”. Selain itu, gabungan Katolik, gereja-gereja lain dan Muslim lebih banyak jumlahnya daripada keseluruhan warga GBKP, sehingga tidak merupakan suara mayoritas. Meskipun demikian, DNA Karo jauh lebih valid untuk membuktikan bahwa Karo bukanlah keturunan Toba dengan asal-usul yang berbeda (Lihat: Edward Simanungkalit, DARI ASIA DARATAN HINGGA DI TANAH KARO: Sebuah Penelusuran Para Ahli Genetika, dalam Kompasiana, 24/05-2016). Belakangan ada juga usaha untuk membatakkan Nias dengan menyebut Nias sebagai keturunan Raja Asi-asi, tetapi inipun juga secara arkeologi dan genetika berbeda antara Toba dengan Nias yang memiliki marka Y-DNA: O-M110 dan O-P203 (Lihat juga: KARO DAN NIAS BUKAN KETURUNAN SI RAJA BATAK; INI BUKTINYA, dalam Kompasiana, 24/03-2016). Jadi, pada dasarnya masing-masing etnis ini adalah etnis yang terbentuk sendiri-sendiri dan kemudian ada migran dari dalam ke luar dan dari luar ke dalam, tetapi bukan mengubah etnis aslinya.
Menarik, N. Siahaan, BA. dalam bukunya “Sejarah Kebudayaan Batak” (1964) mengemukakan dengan kritis dan jernih sebagai berikut: “Berapa jumlah orang Batak dan kapan mereka tiba di sekitar gunung Pusuk Buhit tidak dapat dijawab (rasanya tidak mungkin hanya seorang, yakni Si Raja Batak dengan isterinya jadi nenek-moyang pertama). ... Mengenai riwayat Si Raja Batak, yakni leluhur bersama suku Batak, semata-mata masuk mitos. … Si Raja Batak sudah tokoh mitos, demikian juga Tatea Bulan dan Isumbaon. Tentang nama-nama yang lain kita terima saja mereka itu leluhur yang pernah hidup.” (1964:83,84,86). Tepat sekali pertanyaan kritis dan pernyataan kritis N. Siahaan tadi, bahwa tidak mungkin hanya seorang bersama isterinya menjadi nenek-moyang bersama dan itu semata-mata merupakan mitos. sehingga Si Raja Batak adalah tokoh mitos!
Di Humbang, mulai dari Silaban Rura hingga Siborong-borong telah ditemukan adanya aktivitas banyak manusia sekitar 6.500 tahun lalu. Dalam bukunya “Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia”, Peter Bellwood (2000:339) menulis: “Sebagai contoh, sebuah inti polen dari rawa Pea Simsim dekat Danau Toba di Sumatera bagian Utara menunjukkan bahwa pembukaan hutan kecil-kecilan mungkin sudah dimulai pada 4.500 Sebelum Masehi.”. Bellwood merujuk kepada hasil penelitian paleontologi oleh Bernard Kevin Maloney (1979) dari Universitas Hull, Inggris, di daerah Humbang, sebelah barat Danau Toba dan Bernard K. Maloney sendiri sudah menulis beberapa buku tentang hal ini. Penelitian paleontologi atas pembukaan hutan ini dilakukan pada 4 (empat) tempat, yaitu: di Pea Simsim, sebelah barat Nagasaribu, di Pea Bullock, dekat Silangit – Siborongborong, di Pea Sijajap, daerah Simamora Nabolak, dan di Tao Sipinggan, Silaban. Penelitian ini membuktikan bahwa telah ada aktivitas manusia sekitar 6.500 tahun lalu di Humbang (www.anu.edu.au; www.manoa.hawaii.edu; www.lib.washington.edu). Fakta ini membuktikan bahwa lebih dulu ada banyak manusia di Humbang pada sekitar 6.500 tahun lalu dan Etnis Toba sekarang adalah keturunannya berdasarkan genetikanya. Dengan demikian, lebih tepat mengatakan bahwa Humbang sebagai kampung awal etnis Toba daripada Sianjur Mulamula, dan mereka inilah nenek-moyang Etnis Toba yang lebih awal, bukan Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula dan sekaligus membuktikan bahwa Si Raja Batak tidak ada alias fiktif.
Selanjutnya, hasil penelitian para ahli genetika membuktikan juga bahwa populasi Toba memiliki Y-DNA Haplogroups: K-M526*, O-M95*, O-M110, O-P201*,O-P203, dan R-M124. Dengan demikian, keenam populasi tadi datang ke Negeri Toba dan bercampur membentuk sebuah populasi besar, yaitu populasi Toba. Kelima marka di awal datang pada masa pra-sejarah yang disusul R-M124 pada tahun masehi, sehingga bukan sepasang suami-isteri seperti Si Raja Batak dengan isterinya. Jelas, bahwa Si Raja Batak hanyalah tokoh fiktif yang tidak pernah ada di dalam sejarah.
Ada kesan bahwa pihak pembuat mitos dan tarombo tersebut adalah orang-orang pembaca Alkitab, sehingga pihak tersebut berimajinasi tentang Adam dan Hawa di Taman Eden dan menulis tarombo seperti tarombo Adam. Sekaligus berat dugaan bahwa turian-turian dan tarombo Batak tersebut bukan warisan nenek-moyang yang dibuat beratus-ratus tahun yang lalu, tetapi diciptakan belakangan oleh orang modern. Walaupun mungkin saja sudah ada cerita (turiturian) sebelumnya, tetapi tidak sedetail itu seperti halnya banyak mitologi tentang asal-usul dari suku-suku di daerah lain, sehingga ada dugaan cerita (turiturian) tersebut sudah mengalami modifikasi sedemikian rupa sesuai dengan kepentingan pihak yang merupakan tokoh intelektualnya.
Tarombo Bangso Batak Berpusat pada Si Raja Batak
Dalam buku “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” (1926), W.M. Hutagalung menguraikan tarombo sebanyak 346 halaman. Tarombo yang berkaitan dengan Toba di dalam buku tersebut boleh dikatakan amburadul seperti tarombo penulis yaitu marga Simanungkalit. Kemudian berdasarkan tarombo Toba tersebut, maka W.M. Hutagalung menghubungkannya dengan marga-marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing dan dengan berbagai cara seperti “jurus padomuhon langit dohot tano” dijadikanlah marga-marga keempat etnis tersebut menjadi keturunan marga-marga Toba. Akibatnya, selain menjadikan keturunan Si Raja Batak, maka marga-marga keempat etnis tadi juga menjadi keturunan marga-marga Toba seakan-akan tanah Pakpak, tanah Karo, tanah Simalungun, dan tanah Mandailing itu tanah kosong ketika Si Raja Batak sampai di Sianjur Mulamula. Dan, kemudian, sebagai tanah kosong, maka datanglah keturunan Si Raja Batak dari marga-marga Toba membentuk masyarakat Pakpak, masyarakat Karo, masyarakat Simalungun, dan masyarakat Mandailing. Inilah kesalahan fatal yang dilakukan pegawai Belanda bernama W.M. Hutagalung dalam menulis buku tersebut atau mungkin juga merupakan kesalahan fatal yang disengaja untuk tujuan tertentu sesuai “pesanan”. Terlihat jelas bahwa W.M. Hutagalung, sang asisten demang tersebut, adalah memenuhi pesanan majikannya, penjajah Belanda, dan penjajah Belanda juga memfasilitasi upaya penulisan buku tersebut serta memerintahkan penerbitannya.
Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing bukanlah berasal dari Sianjur Mulamula dan ini sudah penulis kemukakan sebelumnya dalam tulisan berjudul “BENARKAH SI RAJA BATAK NENEK-MOYANG BANGSO BATAK DAN TOBA INDUK BANGSO BATAK? ” (Kompasiana, 20/01-2016). Hal ini dikuatkan lagi dengan bukti-bukti arkeologis di masing-masing tanah tersebut, sehingga semakin tampak jelas betapa tidak masuk akalnya tarombo yang disusun oleh W.M. Hutagalung tersebut. Tarombo “Batak” ini diturunkan oleh tokoh mitos bernama Si Raja Batak dan dihubungkan dengan 4 (empat) etnis lain yang berbeda dengan Orang Toba, sehingga semakin sulit diterima pikiran sehat bahkan dapat menyesatkan. Untuk membangun Tarombo “Bangso Batak” seperti itu, maka dapat diduga banyak menggunakan turiturian dan legenda yang tidak valid, karena dasarnya sudah bertentangan dengan fakta. Untuk itu, Tarombo “Bangso Batak” tersebut harus diuji validitasnya dengan tes DNA/penelitian genetika apalagi dengan adanya lembaga terpercaya sekarang ini yang memberikan jasa tes DNA dengan mengenakan tarif sebesar $ 99 USD per-orang.
Tarombo Bangso Batak sebagai Strategi Pembatakan
Mulai dari tokoh tunggal yang menjadi puncak tarombo sudah bermasalah ditambah dengan tarombo yang menghubungkan Si Raja Batak dengan Toba dan dengan Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing membuat semakin bermasalah. Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing dijadikan menjadi keturunan marga-marga Toba yang pada akhirnya berpuncak kepada Si Raja Batak yang menurunkan mereka semuanya. ‘Ypes mengatakan bahwa Dairi, Karo, Simalungun, Angkola Mandailing berasal dari suku Toba, demikian juga dialeknya’ (Siahaan & Pardede, 19..:15, 48). Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa Karo, Simalungun, Mandailing, dan Pakpak terbukti tidak berasal dari Sianjur Mulamula, sehingga sama sekali bukan keturunan Si Raja Batak. Leluhur Karo, Simalungun, Mandailing, dan Pakpak lebih tua dari Si Raja Batak. Tarombo tersebut mempersatukan masyarakat non-Melayu tersebut menjadi sebuah etnis, yaitu Etnis Batak dengan sub-etnik: Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Mandailing, dan Batak Pakpak.