Kemudian orang-orang India Selatan datang lagi pada millenium pertama Masehi pada sekitar abad ke-3 dan mereka mendirikan Kerajaan Nagur di tanah Simalungun. Kerajaan Nagur bangkit dan berdiri sejak abad ke-6 dan mengalami kemunduran pada abad ke-15 serta tercatat di Cina pada zaman Disnasti Sui abad ke-6 (Agustono & Tim, 2012:24, 31). Buku “SEJARAH ETNIS SIMALUNGUN” melaporkan bahwa “… di daerah Tigadolok masih terdapat nama kampung bernama Nagur yang letaknya jauh di pedalaman dan sulit ditempuh. Berdekatan dengan kampung Nagur ini terdapat tempat keramat bernama Batu Gajah sisa candi peninggalan agama Hindu yang sudah pernah diteliti tim arkeologi dari Medan yang menurut perkiraan didirikan sejak abad ke-5 Masehi.” (Agustono & Tim, 2012:38). Kerajaan Nagur ini didirikan oleh Datu Parmanik-manik, yang selanjutnya berubah menjadi Damanik. Raja Nagur, Datu Parmanik-manik itu, berasal dari Nagpur atau Nagore, India. Kemudian berdasarkan nama panglima Kerajaan Nagur, maka terbentuklah 4 (empat) kelompok marga di Simalungun, yaitu: Sinaga, Saragih, Damanik, dan Purba, yang disingkat SiSaDaPur. Marga yang empat inilah marga Simalungun asli yang menjadi marga pemilik tanah di Simalungun sejak zaman dulu. Pada dasarnya Kerajaan Nagur ini tetap berkelanjutan hingga masa Raja Maropat (1400-1907) dengan Raja bermarga Damanik di Kerajaan Siantar terus berlanjut lagi pada masa Raja Marpitu (1907-1946). Demikianlah selintas kilas tentang etnis Simalungun hingga masa kerajaan-kerajaan di tanah Simalungun.
Raja-Raja Mandailing
Arkeolog prasejarah, Prof. DR. Harry Truman Simanjuntak telah mengemukakan di atas bahwa ras australomelanesoid telah lebih dulu bermigrasi ke Sumatera. Kemudian disusul oleh penutur Austroasiatik pada sekitar 4.300 – 4.100 tahun lalu dan penutur Austronesia menyusul pada sekitar 4.000 tahun lalu. Penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia ini, keduanya adalah ras Mongoloid yang berasal dari Yunan, Cina Selatan. Leluhur prasejarah ini dikemukakan oleh Harry Truman Simanjuntak. Ras australomelanesoid tadi datang pada masa Mesolitik di sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu melalui pesisir Timur Sumatera bagian Utara dan menyebar ke daerah-daerah Sumatera hingga ke Sumatera Selatan. Dari mereka inilah, penulis sebutkan di sini sebagai Raja-Raja Mandailing, yang menurunkan Orang Mandailing. Disusul penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia pada masa Neolitik di sekitar tahun 6.000 – 2.000 tahun lalu. “Situs purba berupa menhir ditemukan di Runding, Mandailing Natal merupakan peninggalan dari zaman batu sebelum manusia mengenal peralatan dari perunggu. Di lokasi ini masih ditemukan “kursi batu” dengan pahatan amat sederhana, dangkal estetika, hanya berorientasi kepada fungsi, bukan keindahan” (www.mandailingonline.com, 16/05-2014).
Kemudian orang-orang India Selatan datang lagi pada millenium pertama Masehi abad ke-2 atau ke-3. Mandailing sudah disebutkan Gajah Mada dalam Sumpah Palapanya dalam Kitab Negarakertagama sekitar tahun 1365. Candi Simangambat merupakan temuan arkeologis di Simangambat yang berasal dari abad ke-9 Masehi. Situs-situs lain terdapat di Desa Pidoli Lombang (Saba Biaro), Desa Huta Siantar (Padang Mardia), Desa Sibanggor Julu, Huta Godang (Bagas Godang) dan lain-lain. Baru-baru ini ditemukan juga situs candi di hutan Simaninggir, Siabu, Madina yang berasal dari kebudayaan Hindu - Budha pada sekitar abad 9-10 Masehi (www.mandina,go.id). Keberadaan candi-candi ini membuktikan sudah ada masyarakat dengan populasi besar dan teratur di sana pada masa lalu. Sedang Candi Portibi di Padang Lawas berasal dari abad ke-11. Pada tahun 1025, Rajendra Chola dari India Selatan memindahkan pusat pemerintahannya di Mandailing ke daerah Hang Chola (Angkola). Kerajaan India tersebut diperkirakan telah membentuk koloni mereka, yang terbentang dari Portibi hingga Pidoli. Di lokasi Padang Mardia, Huta Siantar, Panyabungan ditemukan juga situs batu bertulisan Arab bertarikh tahun 264 H (www.mandailingonline.com, 16/05-2014) atau abad ke-9 Masehi. Peristiwa yang dikenal sebagai Riwajat Tanah Wakaf Bangsa Mandailing di Soengai Mati, Medan pada tahun 1925 berlanjut ke pengadilan. Akhirnya, berdasarkan hasil keputusan Pengadilan Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia, Mandahiling diakui sebagai etnis terpisah dari Batak (wikipedia).
Raja-Raja Toba
Di Humbang, mulai dari Silaban Rura hingga Siborong-borong, yang sekarang berada di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan, telah ditemukan adanya aktivitas banyak manusia sekitar 6.500 tahun lalu. Dalam bukunya “Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia”, Peter Bellwood (2000:339) menulis: “Sebagai contoh, sebuah inti polen dari rawa Pea Simsim dekat Danau Toba di Sumatera bagian Utara (1.450 m dpl) menunjukkan bahwa pembukaan hutan kecil-kecilan mungkin sudah dimulai pada 4.500 Sebelum Masehi.”. Bellwood merujuk kepada hasil penelitian paleontologi oleh Bernard Kevin Maloney (1979) dari Universitas Hull, Inggris, di daerah Humbang, sebelah barat Danau Toba dan Bernard K. Maloney sendiri sudah menulis beberapa buku tentang hal ini.
Penelitian paleontologi atas pembukaan hutan ini dilakukan pada 4 (empat) tempat, yaitu: di Pea Simsim, sebelah barat Nagasaribu, di Pea Bullock, dekat Silangit – Siborongborong, di Pea Sijajap, daerah Simamora Nabolak, dan di Tao Sipinggan, Silaban. Penelitian ini membuktikan bahwa telah ada aktivitas manusia sekitar 6.500 tahun lalu di Humbang (www.anu.edu.au; www.manoa.hawaii.edu; www.lib.washington.edu). Mereka itu datang dari pesisir timur Sumatera bagian Utara yang telah dilakukan beberapa kali penelitian arkeologi prasejarah di beberapa tempat mulai dari Serdang dekat Medan sampai Lhok Seumawe (ORANG TOBA: Asal-usul, Jatidiri, dan Mitos Sianjur Mulamula, 2015:21-24). Mereka ini banyak dan penulis namakan mereka dengan nama Raja-Raja Toba, karena hanya menurunkan Orang Toba. Jadi, Raja-Raja Toba bukan satu orang figur, tetapi lebih dari satu orang atau banyak orang dan mereka itu yang menurunkan Orang Toba terbukti dari DNA-nya (2015:31-35).
Si Raja Batak