Pihak Pakpak masih belum memperlihatkan dirinya tampil sebagai etnis tersendiri yang berakar pada sejarah dan budayanya sendiri. Pakpak memiliki masyarakat, tanahulayat, bahasa, budaya, dan sejarahnya sendiri, yang sudah menunjukkan bahwa Pakpak merupakan etnis tersendiri. Lebih jauh lagi, bahwa buku: “ORANG TOBA: Asal-usul, Jatidiri, dan Mitos Sianjur Mulamula” telah mengemukakan hal ini berdasarkan migrasi leluhur sejak awal adanya manusia di Sumatera bagian Utara. Periode pertama setelah Sundaland tenggelam, maka Orang Negrito datang bermigrasi ke Sumatera pada masa Mesolitik sekitar 10.000 - 6.000 tahun lalu dari Teluk Tonkin, Vietnam. Kemudian para penutur Austroasiatik datang bermigrasi dari Vietnam-Kamboja-Khmer ke Sumatera melalui Semenanjung Malaka pada sekitar 4.300 - 4.100 tahun lalu. Disusul lagi para penutur Austronesia datang bermigrasi dari Taiwan ke Sumatera melalui Filipina pada sekitar 4.000 tahun lalu. Penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia sama-sama berasal dari Yunan di Cina Selatan yang merupakan ras Mongoloid. Selanjutnya, orang-orang dari India Selatan datang bermigrasi ke Sumatera bagian Utara pada masa tahun masehi mulai sekitar abad ketiga.
Keempat kelompok inilah yang membentuk Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing, sementara Toba sangat sedikit sekali dipengaruhi pendatang dari India Selatan yang mungkin oleh karena berada di tengah-tengah pedalaman. Jadi, Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing terbentuk sendiri-sendiri. Walaupun kemudian ada beberapa marga saling bermigrasi antar sesama etnis dan sesama etnis bertetangga tersebut terjadi saling pengaruh-mempengaruhi, tetapi masing-masing etnis ini sudah terbentuk secara sendiri-sendiri sebelumnya.
Berdasarkan migrasi leluhur tadi, Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing merupakan campuran tiga ras: negrito-mongoloid-india, sedang penghuni awal Sianjur Mulamula berasal dari ras Mongoloid. Bila mengikuti buku W.M. Hutagalung tadi, maka Si Raja Batak (mongoloid) menurunkan Batak Pakpak - Batak Karo - Batak Simalungun - Batak Mandailing (negrito-mongoloid-india). Jadi, kerangka pikir W.M. Hutagalung di dalam buku di atas ringkasnya begini: mongoloid menurunkan negrito-mongoloid-india. Jelas, ini menyalahi pikiran sehat, karena ras mongoloid hanya dapat menurunkan ras mongoloid juga. Inilah kesalahan fundamental dari buku W.M. Hutagalung tadi. Atas dasar itu, maka kesimpulan selanjutnya, bahwa Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing bukan berasal dari Sianjur Mulamula, sehingga bukan keturunan Si Raja Batak seperti ditulis oleh W.M. Hutagalung tadi sebelumnya.
Konsekwensi logis daripada itu, maka marga-marga Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing bukanlah keturunan Si Raja Batak seperti yang ditulis W.M. Hutagalung dalam uraiannya mengenai tarombo Bangso Batak. Walaupun ada marga-marga tertentu yang bermigrasi dari Toba ke tanah Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing, tetapi bukan menjadikan Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing adalah keturunan Si Raja Batak. Itupun harus dicermati dengan lebih dalam, sedang kesamaan bunyi di dalam marga itupun tidak memastikan bahwa marga yang sama itu memiliki hubungan genealogis. Apabila perlu, maka hubungan marga-marga yang dipertanyakan tersebut dilakukan tes DNA, agar otentik dan valid. Sekarang ini sudah ada lembaga yang memberikan jasa tes DNA tersebut bahkan ada yang sudah menyebutkan tarif $ 99 USD per-orang seperti www.23andme.com. Oleh karena itu, kenapa mesti mencari turiturian untuk mempelajari hubungan marga-marga? Turiturian tidak dapat diverifikasi dan turiturian bukanlah sejarah, sebab sejarah memiliki kurun waktu yang jelas, sedang turiturian kabur dan gelap. Sekaranglah saatnya mengatakan: "Tidak!" terhadap buku W.M. Hutagalung tersebut. Inilah renungan bersama saudara-saudara dari kalangan Pakpak. Sungguh, kebenaran itu memerdekakan. Salam Bhinneka Tunggal Ika dalam persaudaraan sebangsa dan setanahair. ***
(*) Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban
Tulisan ini terkait dengan tulisan-tulisan sebelumnya:
ORANG TOBA: Asal-usul, Budaya, Negeri, dan DNA-nya
ORANG TOBA: Austronesia, Austroasiatik, dan Negrito
ORANG TOBA BUKAN KETURUNAN SI BORU DEAK PARUJAR