Dalam forum peradilan di DKPP pihak yang berperkara (Subjectum Litis) dan objek perkara (Objectum Litis) adalah:
1.Pihak yang berperkara/subjectum litis
Dalam undang-undang tentang penyelenggaraan Pemilu menguraikan bahwa subjectum litis, bisa mencakup pengertian luas dan dapat pula mencakup pengertian yang sederhana. Peraturan tentang pedoman beracara DKPP membatasi pengertian tentang pihak yang dapat berperkara, dengan maksud agar penanganan kasus-kasus dugaan pelanggaran kode etik dapat secara realistis ditangani dan diselesaikan oleh DKPP. Lagipula pada dasarnya DKPP hanya memberikan dukungan penguatan kepada KPU maupun Bawaslu untuk menjalankan fungsinya tanpa harus menangani semua urusan dugaan pelanggaran kode etik secara sendiri-sendiri.
Hal-hal yang dapat diselesaikan sendiri oleh KPU maupun Bawaslu ataupun hal-hal yang semestinya ditangani dan diselesaikan lebih dulu oleh KPU dan Bawaslu, tidak boleh secara langsung ditangani oleh DKPP dengan mengabaikan mekanisme internal KPU dan Bawaslu sendiri lebih dulu. Karena itu, idealnya kasus-kasus dugaan pelanggaran kode etik yang secara langsung dapat diajukan dan ditangani oleh DKPP dibatasi hanya untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pnyelenggara Pemilu ditingkat pusat dan ditingkat provinsi. Sedangkan untuk kasus-kasus pelanggaran ditingkat Kabupaten/Kota lebih dulu harus diklarifikasi dan ditangani oleh KPU pusat atau Bawaslu pusat ( Jimly Asshidiqqie,Februari 2013,disampaikan pada Rapim Polri).
2.Objek Perkara/objectum litis
Objectum Litis atau objek perkara yang ditangani oleh DKPP terbatas hanya kepada persoalan perilaku pribadi atau orang-perorangan pejabat atau petugas penyelenggara Pemilu. Objek pelanggaran etika yang dapat diperkarakan serupa dengan kualifikasi tindak pidana dalam sistim peradilan pidana, yaitu menyangkut sikap dan perbuatan yang mengandung unsur melanggar hukum yang dilakukan oleh perseorangan individu-individu secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama yang dipertanggung jawabkan juga secara individu perorangan.
Model Peradilan Etika Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Â
Secara normatif dan formal, putusan DKPP tidak berkaitan dengan proses tahapan Pemilu, sebabnya ialah objectum litis perkara di DKPP hanya berkaitan dengan issu persona aparat penyelenggara pemilihan umum, maka dengan sendirinya putusan DKPP pun tidak mengandung akibat hukum terhadap proses atau tahapan pemilihan umum.
Objek perkara di DKPP juga tidak tergantung kepada  " tempus delicti " atau saat kapan suatu perbuatan melanggar kode etik. Dicontohkan, meskipun Pemilukada kota A telah berlangsung 1 (satu) tahun sebelumnya dan putusan sengketa hasil pemilukada telah bersifat final dan mengikat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang telah dilaksanakan oleh KPU, tetapi dikemudian hari terbukti adanya perbuatan melanggar kode etik yang dilakukan oleh Ketua KPU kota A dalam proses pemilukada Walikota kota A, 1 (satu) tahun yang lalu, tetap saja DKPP berwenang memeriksa dugaan pelanggaran kode etik yang terjadi 1 (satu) tahun sebelumnya.
Ternyata, dari hasil pemeriksaan yang bersifat terbuka oleh DKPP, terbukti bahwa Ketua KPU kota A memang telah melanggar kode etik, maka atas dasar itu ketua KPU kota A diberhentikan oleh DKPP dengan keputusan yang bersifat final dan mengikat. Namun, putusan DKPP itu tidak dapat dijadikan alasan untuk memberhentikan Walikota yang sudah terpilih dan bahkan telah menjalankan tugasnya selama 1 (satu) tahun, meskipun Ketua KPU kota A telah diberhentikan berdasarkan putusan DKPP. Hal ini terjadi adalah bahwa antara persoalan pelanggaran kode etik aparat KPU dan proses pemilihan walikota dan bahkan dengan persoalan sengketa mengenai hasil pemilu itu, sama sekali tidak dapat dikaitkan berdasarkan prinsip sebab-akibat atau kasualitas.
Beberapa prinsip penting yang dipraktikkan dalam penyelenggaraan peradilan etik oleh DKPP adalah prinsip-prinsip " audi et alteran partem " Â yakni prinsip independensi, imparsialitas, dan transparansi. Dengan diberlakukannya prinsip-prinsip tersebut, maka semua pihak yang terkait dengan perkara, wajib didengarkan dalam persidangan yang diselenggarakan secara terbuka, dimana para anggota DKPP bertindak sebagai hakim yang menengahi pertentangan untuk mengatasi konflik dan memberikan solusi yang adil.