Begitu tahu mang Sadri yang tak sadar telah  ke bawa kereta, kami segera berlarian ke rumahnya. Tidak kepalang paniknya bi Ijah, istrinya mang Sadri, saat kami beri kabar suaminya.
Di belakang mengiringi Bi Ijah, kami sama-sama melangkah tergesa-gesa menuju stasiun.Â
Dalam perjalanan menuju stasiun, tak henti-hentinya bi Ijah berkata-kata setengah mau menangis. " bapak sia mah aya -aya wa..bagaimana kalau ke bawa ke Jakarta cuma pake kolor, pakai handuk ..tidak bawa uang.."
Sampai di stasiun di ruang PPKA, bi Ijah berkata berulang-ulang, " mang Sadri ke bawa..mang Sadri ke bawa,," Dan itu mengagetkan pegawai stasiun yang belum mengerti persoalan.Â
Baru mau ditanyakan persoalannya bagaimana, bi Ijah malah tetap melangkah merangsek, memegang, Â mengangkat gagang telepon dan berbicara, " haloh telepon suami sayah kebawa kereta!?"
Kami yang berada di luar ruangan sontak tertawa terbahak -bahak dan baru berhenti setelah di hardik bi Ijah.
" Sudah tenang saja. bi. Kereta sudah disuruh berhenti di stasiun depan. Tunggu saja yayangnya  bibi pasti pulang. Ini pelajaran bagi kalian nih anak-anak,,tidak boleh lagi ikut langsiran. Pelajaran lainnya, kalian kalau mau ada dengan satu tujuan harus tetap fokus dengan satu tujuan itu.." begitu kata pegawai stasiun menenangkan hati bi Ijah dan menggurui kami.
Semakin sore, semakin meluas kabar mang Sadri ke bawa kereta sehabis pulang ngebeca, semakin ramai pula stasiun oleh warga sekitar.
Setelah sekira sejam menunggu dengan perasaan was-was, dari arah horison barat, diantara cahaya redup matahari senja, tampaklah siluet sosok tengah berjalan mendekat.
Tanpa satu aba -aba, sontak kami berbarengan berteriak sambil menunjuk jari,, "Ituu mang Sadriii!!"
Kkkkk...