Mohon tunggu...
Edward Rhidwan
Edward Rhidwan Mohon Tunggu... Penulis - Trainer Digital Marketing | Writer - Blogger - Founder celebesweb.com

Penulis, pembicara tentang bisnis, digital marketing, motivation

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pancasila; Brand Indonesia di Kancah Global

24 Februari 2013   12:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:46 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13617105031851721381

Indonesia adalah Negara multikultural dan multietnis. Dan ini bukanlah kesalahan. Justru anugerah istimewa yang wajib kita syukuri. Tak ada bangsa lain yang punya keunikan dan ke-khas-an seperti Bangsa Indonesia.

Keunikan tersebut lahir dari keberagaman yang terbentang dari sabang sampai merauke. Keberagaman inilah yang terbingkai indah dalam “Bhinneka Tunggal Ika.”

Akan tetapi masalah kemudian muncul ketika arus globalisasi −dengan kemajuan tekhnologi yang menjadi senjata utamanya− seakan perlahan-lahan memudarkan keunikan tersebut. Bahkan bisa dikatakan Indonesia yang indah dalam keberagaman ini menjadi sasaran empuk gerakan globalisasi ini. Jimat falsafah “Bhinneka Tunggal Ika”-pun menjadi tidak mempan lagi sebagai pegangan hidup berbangsa dan bernegara.

Indonesia; Negara Tanggung

Keberagaman ini justru nyatanya lebih cenderung menjadi batu sandungan ketimbang menjadi penguatan identitas. Masyarakat Indonesia kini bisa dibagi menjadi dua kategori utama, yakni masyarakat maju dan masyarakat terbelakang. Masyarakat maju yang terpusat di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar dan lain-lain terbuka akan perubahan. Masyarakat terbelakang itulah yang sedikit banyak masih memegang teguh prinsip budayanya.

Nah masyarakat yang katanya “maju” itulah sebenarnya yang menjadi sasaran empuk globalisasi. Sikap yang terlalu terbuka pada perubahan membuat mereka semakin bergantung pada kemajuan tekhnologi dan globalisasi dan lupa dengan jati diri sendiri. Dan karena mereka dianggap orang-orang pintar, jadilah mereka yang dianggap paling benar. See!

Di lain sisi pemerintah tidak punya ketegasan dalam menentukan sikap. Dengan alasan demokrasi, kita menjadi “nrimo” saja. Ini membuat pergerakan arus globalisasi semakin leluasa menghantam setiap sisi kehidupan kita.

Kita menjadi serba tanggung. Setengah demokrasi setengah monarki. Setengah barat setengah timur. Setengah maju setengah mundur.

Peran Pancasila, Eh… Peran Orang-orangnya!

Begitulah masalahnya, tapi saya tidak senang menghabiskan waktu untuk menyesali masalah. Pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang harus kita lakukan untuk bisa menguatkan kembali jati diri bangsa di tengah gempuran komunitas global dan multikultural ini?

Kita akan serta-merta berseru, “Kembali ke falsafah dan pegangan utama bangsa Indonesia yakni pancasila!” Tepatnya sila ketiga: Persatuan Indonesia!

Ya, itulah jawabannya. Tapi pancasila tetaplah pancasila. Meski dibaca setiap upacara hari senin ketika sekolah dulu, keadaan Indonesia kini tetap saja jauh dari yang diharapkan. Contoh nyata, Otonomi daerah yang diharapkan menjadi solusi bagi permasalahan multikultural dan daerah ini justru seperti menjadi senjata makan tuan. Banyak daerah-daerah yang dengan falsafah hidup kedaerahannya kini melakukan gerakan-gerakan separatis. Ini justru semakin memperkeruh keadaan di saat menghadapi serangan arus globalisasi.

Kini benar-benar dibutuhkan peran serta semua pihak dibawah komando pemerintah dalam memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Kini semestinya bukan lagi peran pancasila yang dipertanyakan, tapi peran orang-orang yang ada dalam ikatan pancasila itu. Termasuk diri kita masing-masing.

Belajar dari “Gangnam Style”

Tujuan utama pergerakan globalisasi itu sebenarnya menciptakan sebuah dunia dibawah satu tatanan. Bernama kebebasan. Atau apapun itu namanya. Tujuannya adalah penjajahan. Penjajahan dengan cara yang lembut tapi berdampak lebih besar.

Nah, Negara-negara multikultural dan multietnis seperti Indonesia, yang masih berkutat pada masalah persatuan dan kesatuan akan menjadi sangat kerepotan melawan dan menyikapi gempuran-gempuran ini. Jadilah pemerintah menjadi serba salah. Di satu sisi masyarakat memang menginginkan produk-produk globalisasi itu. Produk-produk itu berupa kecanggihan tekhnologi. Di sisi lain pemerintah harus tetap memikirkan nasib jati diri bangsanya. Ini seperti dua sisi mata pedang atau seperti makan buah simalakama.

Meski begitu, ada beberapa Negara khususnya asia yang berhasil tetap berdiri kokoh melawan gempuran ini. Seperti Jepang, Cina, dan Korea.

Kita lihat bagaimana Jepang yang begitu kuat mempertahankan identitas kebudayaannya. Salah satunya dengan mengharuskan semua pelajar yang ingin menempuh pendidikan di Jepang haruslah menggunakan bahasa Jepang. Bukannya bahasa inggris.

Kita lihat Korea. Dengan kekuatan “gangnam stely”-nya bukan hanya berhasil membendung diri dari serangan arus global tapi dengan cerdas justru menggunakan senjata globalisasi untuk semakin memperkuat dan mengukuhkan identitas bangsanya. Jangan salah ya, gangnam style itu adalah cara pemerintah korea untuk menyebarkan budayanya ke seluruh dunia. Lihatlah hasilnya!!! “demam gangnam style” terjadi di mana-mana. Saya kira itu cerdas sekali.

Memang benar jika dikatakan bahwa bangsa yang besar dan maju adalah bangsa yang mencintai dan menjunjung tinggi budaya dan karakteristik keunikannya. Kita seharusnya belajar dari mereka.

Pelajaran dari gangnam style adalah bukan lagi waktunya menyalahkan globalisasi, harusnya kita cerdas memanfaatkan produk-produknya berupa kemajuan tekhnologi itu untuk membranding nama dan identitas Indonesia di Kancah Global. Itu namanya menunggangi globalisasi, bukan ditunggangi.

Sisi Baik Era Globalisasi

Meski begitu, sebenarnya arus globalisasi juga punya sisi baik. Bukan hanya dalam kehidupan berbangsa, Dalam hal bisnis, arus globalisasi menciptakan kondisi persaingan yang makin ketat. Ini memaksa pelaku bisnis harus semakin kreatif dan inovatif dalam menciptakan “Blue Ocean Strategy” dalam menembus pasar global. Dalam hal branding dan marketing memang begitu. Bisnis yang baik memang harusnya menonjolkan sisi unik dan autentisitas dari dirinya.

Indonesia sudah punya modal itu. Sayangnya, konsep ini mungkin masih terlalu besar untuk diaplikasikan pada suatu Negara sebesar Indonesia saat ini. Sebab untuk melakukannya dibutuhkan suatu kerja sama yang komprehensif dari semua pihak. Nah inilah kemudian yang sulit bagi Indonesia saat ini. Seperti yang telah di singgung di atas, salah satu penyebabnya adalah masih masalah persatuan dan kesatuan.

Jika ini bisa dilakukan, saya optimis Indonesia akan menjadi Negara adikuasa di dunia. Karena Indonesia sudah punya modal, yakni keunikan dan “blue ocean” tadi yang tak di miliki bangsa lain. Modal seperti kekayaan dan keunikan bahasa, suku, agama, sejarah, budaya, seni, dll.

Modal-modal inilah yang harusnya kita gunakan untuk mem-branding Indonesia untuk maju dan unjuk gigi di kancah global. Seperti halnya Korea. Peran Pancasila adalah sebagai sebuah sistem (brand guideline) yang menjadi pedoman dan pegangan hidup berbangsa. Masalahnya sekarang tinggal mengaplikasikan sila ke-tiga Pancasila itu.

Setelah itu, dengan sedikit inovasi, kita mampu mengangkat Indonesia punya brand (identitas) di kancah internasional. Semoga bermanfaat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun