[caption id="attachment_398629" align="aligncenter" width="624" caption="Mario Balloteli (AFP PHOTO/OLI SCARFF - Kompas.com)"][/caption]
SABTU, 24 Juni 2012, Stadion Olympic, Kiev, di Ukraina, bergemuruh usai laga perempat final Piala Eropa 2012, Italia lawan Inggris yang berakhir imbang 0-0, setelah melalui 120 menit.Di pinggir lapangan, pelatih Italia saat itu, Cesare Prandelli, mengumpulkan pemainnya untuk menentukan siapa saja algojo dalam drama adu penalti.
Namun, tiba-tiba Mario Balotelli menghampirinya dan meminta Prandelli menjadikan dirinya sebagai algojo pertama.Prandelli setuju. Dia pun mencatat nama Balotelli, bersama Riccardo Montilivo, Andrea Pirlo, Antonio Nocerino, dan Alessandro Diamanti secara berurutan sebagai algojo penalti “Gli Azzurri”. Hebatnya, Balotelli sukses menjalankan misinya. Dengan dingin dia menaklukkan kiper Inggris, Joe Hart, yang juga rekan seklubnya ketika itu, di Manchester City.
Italia menang 4-2 karena Pirlo, Nocerino, dan Diamanti juga sukses merobek gawang Inggris. Hanya Montolivo yang gagal. Sepakan kaki kanannya melebar ke sisi kanan tiang gawang Inggris. Sementara dua penendang Inggris: Ashley Young dan Ashley Cole, gagal mencetak gol.
Usai laga, dalam jumpa pers yang juga dihadiri penulis, yang ketika itu sedang dalam tugas liputan, Prandelli menyatakan kekagumannya terhadap Balotelli. “Ketika seorang pemain ingin menjadi algojo pertama dalam sebuah drama adu penalti, berarti pemain tersebut punya karakter yang luar biasa,” ujar Prandelli.
Italia sendiri, ketika itu, sukses melaju hingga ke final, sebelum dikalahkan Spanyol 0-4. Dan, usai laga puncak itu, Balotelli menangis sejadinya di lapangan. Airmata Balotelli terus menetes hingga momen pembagian medali.
Bukan hal lumrah melihat Balotelli, yang selama ini dikenal sebagai bad boy, menangis. Saat itu, dia memang merasa sangat kecewa. Balotelli merasa kalah, jadi pecundang. Padahal, dia tak pernah mau kalah, apalagi jadi pencundang. Balotelli selalu ingin jadi yang terbaik. Tak peduli di antara kawan atau lawan.
***
Kamis, 19 Februari 2014. Balotelli, kini 24 tahun, resah di bangku cadangan Liverpool, saat klubnya itu menjamu Besiktas di laga pertama 32 besar Liga Europa di Stadion Anfield. Dia terlihat gemas, karena rekan-rekannya di lapangan kesulitan membongkar pertahanan lawan.
Akhirnya waktu untuk Balotelli datang. Di menit ke-63, pelatih Brendan Rodgers memintanya turun menggantikan Phillipe Coutinho. Tapi, ternyata Balotelli juga tak bisa berbuat banyak dalam open play. Hingga datanglah momen itu.
Di menit ke-84, wasit memberi hadiah penalti kepada Liverpool, usai Jordon Ibe dijatuhkan di “area terlarang”. Jordan Henderson, kapten yang menggantikan Steven Gerrard yang cedera, bersiap mengeksekusinya, seperti instruksi pelatih Rodgers sebelum laga. Bola pun telah berada di tangannya.
Namun, tiba-tiba saja Balotelli merebut bola dari tangan Henderson, “memutuskan” dirinya yang akan mengambil penalti tersebut. Sempat terjadi adu argumen, karena Henderson merasa itu “hak”-nya. Daniel Sturridge datang membela Henderson. Namun, Balotelli tak peduli.
Untung, sepakan kaki kanannya berhasil menggetarkan gawang Besiktas. Balotelli pun jadi “pahlawan”. Ini ketiga kalinya, dia ikut berkontribusi atas kemenangan Liverpool dalam sepekan terakhir. Sebelumnya, Balotelli jadi penentu kemenangan lewat golnya saat “The Reds” menekuk Tottenham Hotspur 3-2. Begitu juga akhir pekan lalu, saat Liverpool menang 1-0 atas Crystal Palace, lewat tendangan bebasnya, Balotelli jadi penyedia assist untuk gol yang dicetak Adam Lallana.
Dikecam dan Dipuji
Namun, masalah tak berhenti di situ. Gerrard, yang berlaku sebagai komentator laga tersebut di stasiun televisi ITV, mengecam perilaku buruk Balotelli. “Dia tak punya rasa hormat kepada tim dan kapten,” ujar pemain yang musim depan akan bermain di Liga Amerika Serikat itu.
Namun, banyak juga yang memuji keberanian Balotelli. Termasuk Henderson sendiri. “Balotelli punya kepercayaan diri yang tinggi dalam menendang penalti karena dia memang ahlinya,” ujar Henderson.
Memang, dibutuhkan kepercayaan diri yang tinggi untuk mengajukan diri sebagai seorang algojo penalti. Sebab, risikonya sangat tinggi. Bayangkan, jika tendangan Balotelli itu bisa diantisipasi kiper Besiktas, atau melambung ke atas gawang.
Tapi, tentu Balotelli punya alasan tersendiri mengapa begitu pecaya diri. Sepanjang karier, dia hanya dua kali gagal mencetak gol dari tendangan penalty dari total 29 kesempatan, termasuk lawan Besiktas.
Lagi pula, kejadian seperti ini, bukan pertama dia lakukan. Saat masih membela Internazionale, Balotteli juga sempat bersitegang dengan Samuel Eto’o lantaran ingin menyerobot tendangan penalti yang jadi “jatah” Eto’o. Namun, upaya Balotelli digagalkan kapten Inter, ketika itu, Javier Zanetti.
Soal “kelancangan” Balotelli menyerobot kewenangan Henderson, sebenarnya tak lepas dari karakter pemain yang mengawali karier di Lumezzane ini. Itu juga karena kariernya sejauh ini memang tak pernah stabil, sama seperti kehidupan pribadinya. Bukan tak mungkin, keduanya saling memengaruhi.
Kehidupan Keras
Maklum, kehidupan yang keras, yang dia alami sejak kecil ikut membentuknya menjadi pribadi indifferent, selalu merasa terasing, bahkan di negaranya sendiri. Maklum, berdarah Ghana, Balotelli, yang memiliki nama kecil, Barwuah, sudah merantau ke Italia sejak usia 2 tahun.
Atau mungkin lebih tepatnya “diasingkan”. Itu karena orangtuanya, Thomas dan Rose Barwuah hidup serbakekurangan. Balotelli pun dititipkan kepada keluarga Italia, Francesco dan Silvia Balotelli.
Lalu, saat menginjak remaja, dan mendapat kewarganegaraan Italia pada usia 18 tahun, tahun 2008, ketidak seimbangan Balotelli makin terlihat. Apalagi, ketika itu namanya mulai dikenal sebagai pemain bola top Italia.
Dia bahkan sempat menuding orangtua kandungnya sengaja membuangnya. Balotelli juga kerap terlibat hal-hal yang bersifat kontroversial, bahkan kriminal. Termasuk masuk penjara, karena tingkah laku ugal-ugalannya.
Kehidupan asmara Balotelli juga tak karuan. Tak terhitung sudah gadis yang dipacarinya, sehingga dia mendapat putri dari mantan model panas Italia, Raffaela Fico. Belakangan, hubungan cintanya dengan Fanny Neguesha juga kandas.
Banyak yang menyebut, kehidupan keras dan cenderung liar inilah yang membuat Balotelli makin lekat dengan sebutan “bad boy”, termasuk di lapangan hijau. Namun, dia luar itu, Balotelli selalu berusaha memberikan yang terbaik di lapangan.
Kelakuannya, yang sembarangan itu tidak dia buat-buat untuk mencari sensasi ataupun kontroversi. Tapi, mungkin juga tidak dia lakukan secara sadar. Sebab, seperti kata Joe Hart, yang sempat akrab dengan Balotelli di City, rekannya itu melakukan apa yang ingin dilakukan. Tak peduli, benar atau salah di mata orang.
Sebab, pasti, apa yang dianggap baik oleh Balotelli, belum tentu benar menurut orang kebanyakan. Seperti Carl Schurz, seorang revolusioner Jerman di abad ke-18, yang selalu menyebut “My country, right or wrong..” (“Benar atau salah, ini negara saya”), Balotelli mungkin juga selalu berpendirian...”It’s me…Balotelli, right or wrong”.*
Tulisan ini dimuat di Harian TopSkor edisi Sabtu-Minggu 21-22 Februari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H