Oleh. Eduardus F. Lebe
Apa yang dirancang elit, tidak selalu masuk akal di mata publik. Sebab, publik punya cara dan standar yang berbeda untuk menilai. Yang terbaik bagi elit bisa saja terburuk bagi publik. Begitupun sebaliknya.~Eduardus F. Lebe
Partai Nasional Demokrat (Nasdem) merupakan salah satu partai yang sejak dini telah mengumumkan bakal calon presiden. Seakan memberi signal kepada publik bahwa partai ini siap untuk mengikuti pilpres 2024. Walaupun bakal calon yang diusung oleh partai Nasdem tidak ada satu pun kader partai.
Secara politik mengisyaratkan Partai Nasdem sebagai partai yang terbuka. Siap menampung anak bangsa yang memiliki kualitas untuk memimpin negeri ini. Akan tetapi, di lain pihak secara eksplisit menunjukkan bahwa proses pengkaderisasian dalam Partai Nasdem tidak berjalan secara maksimal.
Nasdem menjalankan politik rasional yang terkesan pragmatis dengan melibatkan tokoh-tokoh penting untuk meraup suara angkar rumput. Pola politik semacam ini ternyata cukup berhasil bagi Partai Nasdem. Hal ini terbukti pada pemilu tahun 2019 Partai Nasdem menjadi partai papan atas.
Pola ini sepertinya ingin diadopsi kembali oleh Partai Nasdem di pemilu tahun 2024. Signal itu terlihat  dalam penentuan bakal calon presiden tahun 2024 oleh partai Nasdem. Partai Nasdem ingin mendapatkan simpati publik yang terafiliasi dari para pendukung bakal calon presiden tersebut.
Lalu, bagaimana respon publik?
Pro kontra atas langkah politik Partai Nasdem tersebut mencuat di level akar rumput. Partai Nasdem harus cermat melihat dinamika yang terjadi. Jika tidak, Partai Nasdem ibarat memakan  buah simalakama yang justru merugikannya sendiri.
Hasil survei menujukan ada penurunan elektabilitas setelah menetapakan bakal calon presiden. Bahkan hasil survei tersebut memposisikan Partai Nasdem nyaris tidak lolos parlementary treshold.
Baca: Survei : Elektabilitas NasDem turun setelah usung Anies, PSI naikÂ
Survei memang tidak menjadi tolak ukur utama bagi setiap partai politik. Akan tetapi, perlu diingat bagai semua partai bahwa survei merupakan potret keinginan publik. Jika tidak cermat merespon keinginan publik maka akan ada konsekuensi yang harus "dibayar".